//

Kupas Tuntas Ziarah Kubur dan Tawassul Versi Ahlussunnah Waljama’ah

Kupas Tuntas Ziarah Kubur dan Tawassul Versi Ahlussunnah Waljama’ah



Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakatuh,
selamat dn kesejahteraan smoga dicurahkan kpada habib dan kluarga, amin….

bib, orang tua saya dulu pernah menyuruh sy ziarah ke makam keramat (dlm hl ini orang yg dihormati atau mkam ulama) supaya sy cepat mendptkn pkerjaan. sy brtanya apa yg harus sy lakukan di makam, jwb bliau, mintalah kpd ahli kubur (dlm hl ìni ulama) agar doa saya disampaikan kpd ALLAH,,,tp sy mrasa galau, krna spengetahuan sy, meminta bntuan kpd yg sudah mati, hukumnya adalah musyrik.  jd sy tdk mlaksanakan perintah ortu saya. saya mohon pendapat habìb tentang msalah di atas.
Terimakasih sbelumnya….
wasalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


JAWABAN ATAS PERTANYAAN DI ATAS:

Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

ISTIGHATSAH

Istighatsah adalah memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya. Untuk sebagian kelompok muslimin hal ini langsung divonis syirik. Namun vonis mereka itu hanyalah karena kedangkalan pemahamannya terhadap syari’ah islam. Pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yang diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah swt.
Tak pula terikat ia masih hidup atau telah wafat. Karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata. Karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt, maka kehidupan dan kematian tak bisa membuat batas dari manfaat dan mudharrat kecuali dengan izin Allah swt. Ketika seseorang berkata bahwa orang mati tak bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka ia dirisaukan telah jatuh dalam kekufuran karena menganggap kehidupan adalah sumber manfaat dan kematian adalah mustahilnya manfaat. Padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah, dan kekuasaan Allah tidak bisa dibatasi dengan kehidupan atau kematian.
Sama saja ketika seorang berkata bahwa hanya dokter-lah yang bisa menyembuhkan dan tak mungkin kesembuhan datang dari selain dokter. Maka ia telah membatasi Kodrat Allah swt untuk memberikan kesembuhan, yang bisa saja lewat dokter, namun tak mustahil dari petani, atau bahkan sembuh dengan sendirinya.
Terkadang kita tak menyadari bahwa kita lebih banyak mengambil manfaat dalam kehidupan ini dari mereka yang telah mati daripada yang masih hidup. Sungguh peradaban manusia, tuntunan ibadah, tuntunan kehidupan, modernisasi dan lain sebagainya. Kesemuanya para pelopornya telah wafat, dan kita masih terus mengambil manfaat dari mereka, muslim dan non muslim, seperti teori Einstein dan teori-teori lainnya, kita masih mengambil manfaat dari yang mati hingga kini. Dari ilmu mereka, dari kekuatan mereka, dari jabatan mereka, dari perjuangan mereka. Cuma bedanya kalau mereka ini kita ambil manfaatnya berupa ilmunya, namun para shalihin, para wali dan muqarrabin kita mengambil manfaat dari imannya dan amal shalihnya, dan ketaatannya kepada Allah.
Rasul saw memperbolehkan Istighatsah, sebagaimana hadits beliau saw : “Sungguh matahari mendekat dihari kiamat hingga keringat sampai setengah telinga, dan sementara mereka dalam keadaan itu mereka ber-istighatsah (memanggil nama untuk minta tolong) kepada Adam, lalu mereka beristighatsah kepada Musa, Isa, dan kesemuanya tak mampu berbuat apa apa, lalu mereka beristighatsah kepada Muhammad saw” (Shahih Bukhari hadits no.1405).
Juga banyak terdapat hadits serupa pada Shahih Muslim hadits No.194, Shahih Bukhari hadits No.3162, 3182, 4435, dan banyak lagi hadist-hadits shahih yang Rasul saw menunjukkan ummat manusia ber-istighatsah pada para Nabi dan Rasul. Bahkan dalam Riwayat Shahih Bukhari dijelaskan bahwa mereka berkata pada Adam, Wahai Adam, sungguh engkau adalah ayah dari semua manusai…. dst… dst… dan Adam as berkata : “Diriku..diriku.., pergilah pada selainku.., hingga akhirnya mereka ber Istighatsah memanggil–manggil Muhammad saw. Dan Nabi saw sendiri yang menceritakan ini, dan menunjukkan beliau tak mengharamkan Istighatsah.
Maka hadits ini jelas – jelas merupakan rujukan bagi istighatsah, bahwa Rasul saw menceritakan orang – orang ber-istighatsah kepada manusia, dan Rasul saw tak mengatakannya syirik. Namun jelaslah Istighatsah diperbolehkan bahkan hingga di hari kiamat kepada para hamba yang dekat pada Allah di hari kiamat. Dan ternyata di hari kiamat Istighatsah diizinikan Allah swt hanya untuk Sayyidina Muhammad saw.
Demikian pula diriwayatkan bahwa di hadapan Ibn Abbas ra ada seorang yang keram kakinya, lalu berkata Ibn Abbas ra : “Sebut nama orang yg paling kau cintai..!”, maka berkata orang itu dengan suara keras.. : “Muhammad..!”, maka dalam sekejap hilanglah sakit keramnya (diriwayatkan oleh Imam Hakim, Ibn Sunniy, dan diriwayatkan oleh Imam Tabrani dengan sanad hasan) dan riwayat ini pun diriwayatkan oleh Imam Nawawi pada Al Adzkar.
Jelaslah sudah bahwa riwayat ini justru bukan mengatakan musyrik pada orang yang memanggil nama seseorang saat dalam keadaan tersulitkan, justru Ibn Abbas ra yang mengajari hal ini.
Kita bisa melihat kejadian Tsunami di aceh beberapa tahun yang silam, bagaimana air laut yang setinggi 30 meter dengan kecepatan 300 km dan kekuatannya ratusan juta ton, mereka tak menyentuh masjid tua dan makam makam shalihin, hingga mereka yang lari ke makam shalihin selamat. Inilah bukti bahwa Istighatsah dikehendaki oleh Allah swt. Karena kalau tidak lalu mengapa Allah jadikan di makam – makam shalihin itu terdapat benteng yang tak terlihat membentengi air bah itu, yang itu sebagai isyarat Illahi bahwa demikianlah Allah memuliakan tubuh yang taat pada-Nya swt. Tubuh – tubuh tak bernyawa itu Allah jadikan benteng untuk mereka yang hidup.., tubuh yang tak bernyawa itu Allah jadikan sumber Rahmat dan perlindungan-Nya swt kepada mereka-mereka yang berlindung dan lari ke makam mereka.
Mereka yang lari berlindung pada hamba – hamba Allah yang shalih mereka selamat. Mereka yang lari ke masjid – masjid tua yang bekas tempat sujudnya orang – orang shalih maka mereka selamat. Mereka yang lari dengan mobilnya tidak selamat. Mereka yang lari mencari tim SAR tidak selamat….
Pertanyaannya adalah: kenapa Allah jadikan makam sebagai perantara perlindungan-Nya swt? Kenapa bukan orang yang hidup? Kenapa bukan gunung? Kenapa bukan perumahan…?
Jawabannya bahwa Allah mengajari penduduk bumi ini beristighatsah pada shalihin. Walillahittaufiq….
Lalu pula didukung oleh hadits shahih Bukhari dan Shahih Muslim dan lainnya dan dijelaskan oleh Imam ibn Katsir dalam tafsirnya bahwa Rasul saw mengajarkan kita bersalam pada ahlulkubur. Berkata Imam Ibn Katsir, ini menunjukkan ahlulkubur menjawab salam orang yg bersalam padanya, karena jika mereka tak mendengar maka tak dibenarkan bersalam pada benda mati, dan didukun riwayat shahih bahwa ahlilkubur senang dengan kedatangan para peziarah padanya.
Kesimpulannya saudaraku, meminta pada para wali Allah swt tidak syirik, apakah ia masih hidup atau telah wafat. Karena kita tak meminta pada diri orang itu. Kita meminta padanya karena keshalihannya, karena ia ulama, karena ia orang yang dicintai Allah. Maka hal ini tidak terlarang dalam syari’ah dengan dalil yang jelas.
Namun kalau pribadi saya, saya lebih senang berdoa pada Allah, dengan mengambil perantara (betawassul) pada Rasulullah saw, karena beliau saw sudah jelas diterima oleh Allah swt perantaraannya bahkan hingga hari kiamat.
Saya sering berziarah pada shalihin dan para wali, tapi berdoa pada Allah, bukan meminta pada ahlilkubur, namun berdoa didepan jasad shalih mereka, disaksikan ruh mereka, insya Allah lebih cepat diijabah oleh Allah.
Berikut saya perjelas mengenai tawassul, saya nukilkan dari buku saya “Kenalilah Akidahmu” edisi 2 :

TAWASSUL

Saudara saudaraku masih banyak yang memohon penjelasan mengenai tawassul. Wahai saudaraku, Allah swt sudah memerintah kita melakukan tawassul. Tawassul adalah mengambil perantara makhluk untuk doa kita pada Allah swt, Allah swt mengenalkan kita pada Iman dan Islam dengan perantara makhluk-Nya, yaitu Nabi Muhammad Saw sebagai perantara pertama kita kepada Allah swt, lalu perantara kedua adalah para sahabat, lalu perantara ketiga adalah para tabi’in. Demikian berpuluh – puluh perantara sampai pada guru kita, yang mengajarkan kita islam, shalat, puasa, zakat dll, barangkali perantara kita adalah ayah ibu kita, namun diatas mereka ada perantara, demikian bersambung hingga Nabi saw, sampailah kepada Allah swt.
Allah swt berfirman : “Hai orang – orang yang beriman, bertakwalah atau patuhlah kepada Allah swt dan carilah perantara yang dapat mendekatkan kepada Allah SWT dan berjuanglah di jalan Allah swt, agar kamu mendapatkan keberuntungan” (QS.Al-Maidah-35).
Berkata Imam Ibn katsir menafsirkan ayat ini :

والوسيلة: هي التي يتوصل بها إلى تحصيل المقصود، والوسيلة أيضًا: علم على أعلى منزلة في الجنة، وهي منزلة رسول الله صلى الله عليه وسلم وداره في الجنة، وهي أقرب أمكنة الجنة إلى العرش، وقد ثبت في صحيح البخاري، من طريق محمد بن المُنكَدِر، عن جابر بن عبد الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “من قال حين يسمع النداء: اللهم رب هذه الدعوة التامة، والصلاة القائمة، آت محمدًا الوسيلة والفضيلة، وابعثه مقامًا محمودا الذي وعدته، إلا حَلَّتْ له الشفاعة يوم القيامة”.
حديث آخر في صحيح مسلم: من حديث كعب عن علقمة، عن عبد الرحمن بن جُبير، عن عبد الله بن عمرو بن العاص أنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول: “إذا سمعتم المؤذن فقولوا مثل ما يقول، ثم صلُّوا عَليّ، فإنه من صلى عَليّ صلاة صلى الله عليه بها عشرًا، ثم سلوا الله لي الوسيلة، فإنها منزلة في الجنة، لا تنبغي إلا لعبد من عباد الله، وأرجو أن أكون أنا هو، فمن سأل لي الوسيلة حَلًّتْ عليه الشفاعة.” (1)
حديث آخر: قال الإمام أحمد: حدثنا عبد الرزاق، أخبرنا سفيان، عن لَيْث، عن كعب، عن أبي هريرة؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “إذا صليتم عَليّ فَسَلُوا لي الوسيلة”. قيل: يا رسول الله، وما الوسيلة؟ قال: “أعْلَى درجة في الجنة، لا ينالها إلا رَجُلٌ واحد (2) وأرجو أن أكون أنا هو”.

Wasilah adalah sesuatu yang menjadi perantara untuk mendapatkan tujuan, dan merupakan perantara pula ilmu tentang setinggi tinggi derajat, ia adalah derajat mulia Rasulullah saw di Istana beliau saw di sorga. Dan itu adalah tempat terdekat di sorga ke Arsy, dan telah dikuatkan pd shahih Bukhari dari jalan riwayat Muhammad bin Al Munkadir, dari Jabir bin Abdillah ra, sabda Rasulullah saw : Barangsiapa yg berdoa ketika mendengar seruan (adzan) :Wahai Alla Tuhan Pemilik Dakwah ini Yang Maha Sempurna, dan Shalat Yang didirikan, berilah Muhammad perantara dan anugerah, dan bangkitkanlah untuk beliau saw derajat yg terpuji yg telah Kau Janjikan pada beliau saw, maka telah halal syafaat dihari kiamat”.
Hadits lainnya pada Shahih Muslim, dari hadits Ka;ab dari Alqamah, dari Abdurrahman bin Jubair, dari Abdullah bin Amr bin Al Ash, sungguh ia mendengar Nabi saw bersabda : “Jika kalian mendengar muadzin, maka ucapkan seperti ucapan mereka, lalu bershalawatlah padaku, maka sungguh barangsiapa yang bershalawat padaku sekali maka Allah melimpahkan shalawat padanya 10x, lalu mohonlah untukku wasiilah (perantara), maka sungguh ia merupakan tempat di sorga, tiada diberikan pada siapapun kecuali satu dari hamba Allah, dan aku berharap agar akulah yg menjadi orang itu, maka barangsiapa yg memohonkan untukku perantara, halal untuknya syafaat.
Dan hadits lainnya berkata Imam Ahmad, diucapkan pada kami oleh Abdurrazzak, dikabarkan pada kami dari sofyan, dari laits, dari Ka;ab, dari Abu Hurairah ra : Sungguh Rasulullah saw bersabda : “Jika kalian shalat maka mohonkan untukku wasiilah, mereka bertanya : Wahai Rasulullah, (saw), wasiilah itu apakah? Rasul saw bersabda : Derajat tertinggi di sorga, tiada yg mendapatkannya kecuali satu orang, dan aku berharap akulah orang itu”. Selesai ucapan Imam ibn Katsir. (Tafsir Imam Ibn Katsir pd Al Maidah 35).
Ayat ini (QS.Al-Maidah-35) jelas menganjurkan kita untuk mengambil perantara antara kita dengan Allah., Dan Rasul saw adalah sebaik baik perantara. Dan Hadits-hadits ini jelas bahwa Rasul saw menunjukkan bahwa beliau saw tak melarang tawassul pada beliau saw. Bahkan orang yang mendo’akan hak tawassul untuk beliau saw sudah dijanjikan syafaat beliau saw.
Tawassul ini boleh kepada amal shalih, misalnya doa : “Wahai Allah, demi amal perbuatanku yang saat itu kabulkanlah doaku”, sebagaimana telah teriwayatkan dalam Shahih Bukhari dalam hadits yang panjang menceritakan tiga orang yang terperangkap di goa dan masing – masing bertawassul pada amal shalihnya, Allah swt membuka sepertiga celah goa tempat mereka terperangkap berkat tawassul orang pertama pada amal shalihnya, namun mereka belum bisa keluar dengan celah itu, maka orang kedua bertawassul pada amal shalih yg pernah diperbuatnya, maka celah terbuka 2/3 dan belum bisa membuat mereka keluar dari goa, maka orang ketiga bertawassul pula pada amal baiknya, maka terbukalah celah goa keseluruhannya.
Namun dari riwayat ini bisa difahami bahwa tawassul pada amal shalih sendiri tidak bisa menyelamatkan dirinya, namun justru sebab dua orang lainnya maka mereka semua bisa selamat….
Jelas sudah bertawassul pada orang lain lebih bisa menyelamatkan daripada tawassul pada amal sendiri yang belum tentu diterima, namun tawassul pada orang shalihh yang sudah masyhur kebaikan dan banyaknya amal ibadahnya, akan lebih mudah dikabulkan Allah swt, lebih lagi tawassul pada Rasulullah saw.
Dan boleh juga tawassul pada Nabi saw atau orang lainnya, sebagaimana yang diperbuat oleh Umar bin Khattab ra, bahwa Umar bin Khattab ra pada riwayat shahih Bukhari :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ

Dari Anas bin Malik ra sungguh Umar bin Khattab ra ketika sedang musim kering ia memohon turunnya hujan dengan perantara Abbas bin Abdulmuttalib ra, seraya berdoa : “wahai Allah.., sungguh kami telah mengambil perantara (bertawassul) pada Mu dengan Nabi kami (Muhammad saw) agar kau turunkan hujan lalu Kau turunkan hujan, maka kini kami mengambil perantara (bertawassul) pada Mu Dengan Paman Nabi Mu (Abbas bin Abdulmuttalib ra) yang melihat beliau sang Nabi saw maka turunkanlah hujan” maka hujanpun turun dg derasnya. (Shahih Bukhari hadits no.954)

Berkata Hujjatul Islam Al imam Ibn Hajar Al Asqalaniy mensyarahkan hadits ini :

وَيُسْتَفَاد مِنْ قِصَّة الْعَبَّاس اِسْتِحْبَاب الِاسْتِشْفَاع بِأَهْلِ الْخَيْر وَالصَّلَاح وَأَهْل بَيْت النُّبُوَّة ، وَفِيهِ فَضْل الْعَبَّاس وَفَضْل عُمَر لِتَوَاضُعِهِ لِلْعَبَّاسِ وَمَعْرِفَته بِحَقِّهِ .

Maka diambil faidah dari kejadian Abbas ra ini menjadi hal yang baik memohon syafaat pada orang orang yang baik dan shalih, dan keluarga Nabi saw, dan pada hadits ini pula menyebutkan keutamaan Abbas ra dan keutamaan Umar ra karena rendah dirinya, dan kefahamannya akan kemuliaan Abbas ra. (Fathul Baari Bisyarah Shahih Bukhari Bab Al Jum;ah no.954)
Riwayat diatas menunjukkan bahwa :

1. Para sahabat besar bertawassul pada Nabi saw dan dikabulkan Allah swt.
2. Para sahabat besar bertawassul satu sama lain antara mereka dan dikabulkan Allah swt.
3. Para sahabat besar bertawassul pada keluarga Nabi saw (perhatikan ucapan Umar r.a: “demi Paman nabi” (saw). Kenapa beliau tak ucapkan namanya saja?, misalnya Demi Abbas bin Abdulmuttalib ra?, namun justru beliau tak mengucapkan nama, tapi mengucapkan sebutan “Paman Nabi” dalam do’anya kepada Allah, dan Allah mengabulkan do’anya, menunjukkan bahwa Tawassul pada keluarga Nabi saw adalah perbuatan Sahabat besar, dan dikabulkan Allah.
Dan boleh tawassul pada benda, sebagaimana Rasulullah saw bertawassul pada tanah dan air liur sebagian muslimin untuk kesembuhan. Sebagaimana do’a beliau saw ketika ada yang sakit : “Dengan Nama Allah atas tanah bumi kami, demi air liur sebagian dari kami, sembuhlah yang sakit pada kami, dengan izin Tuhan kami” (shahih Bukhari hadits No.5413, dan Shahih Muslim hadits No.2194).
Ucapan beliau saw : “demi air liur sebagian dari kami” menunjukkan bahwa beliau saw bertawassul dengan air liur mukminin yang dengan itu dapat menyembuhkan penyakit, dengan izin Allah swt tentunya. Sebagaimana dokter pun dapat menyembuhkan, namun dengan izin Allah pula tentunya. Juga beliau bertawassul pada tanah, menunjukkan diperbolehkannya bertawassul pada benda mati atau apa saja karena semuanya mengandung kemuliaan Allah swt, seluruh alam ini menyimpan kekuatan Allah dan seluruh alam ini berasal dari cahaya Allah swt.
Riwayat lain ketika datangnya seorang buta pada Rasul saw, seraya mengadukan kebutaannya dan minta didoakan agar sembuh, maka Rasul saw menyarankannya agar bersabar, namun orang ini tetap meminta agar Rasul saw berdoa untuk kesembuhannya, maka Rasul saw memerintahkannya untuk berwudhu, lalu shalat dua rakaat, lalu Rasul saw mengajarkan doa ini padanya, ucapkanlah: “Wahai Allah, Aku meminta kepada Mu, dan Menghadap kepada Mu, Demi Nabi Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih Sayang, Wahai Muhammad, Sungguh aku menghadap demi dirimu (Muhammad saw), kepada Tuhanku dalam hajatku ini, maka kau kabulkan hajatku, wahai Allah jadikanlah ia memberi syafaat hajatku untukku” (Shahih Ibn Khuzaimah hadits No.1219, Mustadrak ala shahihain hadits No.1180 dan ia berkata hadits ini shahih dengan syarat shahihain Imam Bukhari dan Muslim).

Hadits diatas ini jelas – jelas Rasul saw mengajarkan orang buta ini agar berdo’a dengan do’a tersebut. Rasul saw yang mengajarkan padanya, bukan orang buta itu yang membuat buat do’a ini, tapi Rasul saw yang mengajarkannya agar berdo’a dengan do’a itu, sebagaimana juga Rasul saw mengajarkan ummatnya bershalawat padanya, bersalam padanya.
Lalu muncullah pendapat saudara – saudara kita, bahwa tawassul hanya boleh pada Nabi saw. Pendapat ini tentunya keliru, karena Umar bin Khattab ra bertawassul pada Abbas bin Abdulmuttalib ra. Sebagaimana riwayat Shahih Bukhari diatas, bahkan Rasul saw bertawassul pada tanah dan air liur.
Adapula pendapat mengatakan tawassul hanya boleh pada yang hidup, pendapat ini ditentang dengan riwayat shahih berikut: “telah datang kepada utsman bin hanif ra seorang yang mengadukan bahwa Utsman bin Affan ra tak memperhatikan kebutuhannya, maka berkatalah Utsman bin Hanif ra : “berwudulah, lalu shalat lah dua rakaat di masjid, lalu berdo’alah dengan do’a :  “Wahai Allah, Aku meminta kepada-Mu, dan Menghadap kepada-Mu, Demi Nabi Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih Sayang, Wahai Muhammad, Sungguh aku menghadap demi dirimu (Muhammad saw), kepada Tuhanku dalam hajatku ini, maka kau kabulkan hajatku, wahai Allah jadikanlah ia memberi syafaat hajatku untukku” (do’a yang sama dengan riwayat diatas)”, nanti selepas kau lakukan itu maka ikutlah denganku ke suatu tempat.
Maka orang itupun melakukannya lalu utsman bin hanif ra mengajaknya keluar masjid dan menuju rumah Utsman bin Affan ra, lalu orang itu masuk dan sebelum ia berkata apa apa Utsman bin Affan lebih dulu bertanya padanya : “apa hajatmu?”, orang itu menyebutkan hajatnya maka Utsman bin Affan ra memberinya. Dan orang itu keluar menemui Ustman bin Hanif ra dan berkata : “kau bicara apa pada utsman bin affan sampai ia segera mengabulkan hajatku ya…?”. Maka berkata Utsman bin hanif ra : “Aku tak bicara apa – apa pada Utsman bin Affan ra tentangmu. Cuma aku menyaksikan Rasul saw mengajarkan do’a itu pada orang buta dan sembuh”. (Majmu’ zawaid Juz 2 hal 279).
Tentunya do’a ini dibaca setelah  wafatnya Rasul saw, dan itu diajarkan oleh Utsman bin hanif dan dikabulkan Allah.
Ucapan : Wahai Muhammad.. dalam doa tawassul itu banyak dipungkiri oleh sebagian saudara saudara kita. Mereka berkata kenapa memanggil orang yang sudah mati? Kita menjawabnya : sungguh kita setiap shalat mengucapkan salam pada Nabi saw yang telah wafat: Assalamu alaika ayyuhannabiyyu… (Salam sejahtera atasmu wahai nabi……). Dan nabi saw menjawabnya, sebagaimana sabda beliau saw : “tiadalah seseorang bersalam kepadaku, kecuali Allah mengembalikan ruh ku hingga aku menjawab salamnya” (HR Sunan Imam Baihaqiy Alkubra hadits No.10.050)
Tawassul merupakan salah satu amalan yang sunnah dan tidak pernah diharamkan oleh Rasulullah saw. Tak pula oleh ijma’ para Sahabat Radhiyallahu’anhum. Tak pula oleh para tabi’in dan bahkan oleh para ulama serta Imam – imam besar Muhadditsin. Bahkan Allah memerintahkannya, Rasul saw mengajarkannya, sahabat radhiyallahu’anhum mengamalkannya.
Mereka berdo’a dengan perantara atau tanpa perantara, tak ada yang mempermasalahkannya apalagi menentangnya bahkan mengharamkannya atau bahkan memusyrikan orang yang mengamalkannya.
Tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air liur yang tergolong benda) dihadapan Allah, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri, dan tentunya kemuliaan orang dihadapan Allah tidak sirna dengan kematian. Justru mereka yang membedakan bolehnya tawassul pada yang hidup saja dan mengharamkan pada yang mati, maka mereka itu malah dirisaukan akan terjerumus pada kemusyrikan karena menganggap makhluk hidup bisa memberi manfaat. Sedangkan akidah kita adalah semua yang hidup dan yang mati tak bisa memberi manfaat apa – apa kecuali karena Allah memuliakannya. Bukan karena ia hidup lalu ia bisa memberi manfaat dihadapan Allah, berarti si hidup itu sebanding dengan Allah? Si hidup bisa berbuat sesuatu pada keputusan Allah???
Tidak saudaraku…. Demi Allah bukan demikian. Tak ada perbedaan dari yang hidup dan dari yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah swt. Yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah swt dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat bila memang dikehendaki oleh Allah swt.
Ketahuilah bahwa pengingkaran akan kekuasaan Allah swt atas orang yang mati adalah kekufuran yang jelas. Karena hidup ataupun mati tidak membedakan kodrat Ilahi dan tidak bisa membatasi kemampuan Allah SWT. Ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat.
Sebagai contoh dari bertawassul, seorang pengemis datang pada seorang saudagar kaya dan dermawan. Kebetulan almarhumah istri saudagar itu adalah tetangganya, lalu saat ia mengemis pada saudagar itu ia berkata “Berilah hajat saya tuan … Saya adalah tetangga dekat amarhumah istri tuan…”.  Maka tentunya si saudagar akan memberi lebih pada si pengemis karena ia tetangga mendiang istrinya. Nah… bukankah hal ini mengambil manfaat dari orang yang telah mati? Bagaimana dengan pandangan yang mengatakan orang mati tak bisa memberi manfaat?  Jelas – jelas saudagar itu akan sangat menghormati atau mengabulkan hajat si pengemis, atau memberinya uang lebih, karena ia menyebut nama orang yang ia cintai walau sudah wafat.
Walaupun seandainya ia tak memberi, namun harapan untuk dikabulkan akan lebih besar. Lalu bagaimana dengan Arrahman Arrahiim, Yang Maha Pemurah dan Maha Penyantun?  Istri saudagar yang telah wafat itu tak bangkit dari kubur dan tak tahu menahu tentang urusan hajat si pengemis pada si saudagar. NAMUN TENTUNYA SI PENGEMIS MENDAPAT MANFAAT BESAR DARI ORANG YANG TELAH WAFAT. Entah apa yang membuat pemikiran saudara-saudara kita menyempit hingga tak mampu mengambil permisalan mudah seperti ini.
Saudara – saudaraku, boleh berdoa dengan tanpa perantara, boleh berdoa dengan perantara, boleh berdoa dengan perantara orang shalih, boleh berdoa dengan perantara amal kita yang shalih, boleh berdoa dengan perantara Nabi saw, boleh pada shalihin, boleh pada benda, misalnya “Wahai Allah Demi kemuliaan Ka’bah”, atau “Wahai Allah Demi kemuliaan Arafat”, dlsb.
Tak ada larangan mengenai ini dari Allah, tidak pula dari Rasul saw, tidak pula dari sahabat, tidak pula dari Tabi’in, tidak pula dari Imam Imam dan muhadditsin, bahkan sebaliknya Allah menganjurkannya, Rasul saw mengajarkannya, Sahabat mengamalkannya, demikian hingga kini. Walillahittaufiq….

NABI MUHAMMAD SAW DI ALAM BARZAH

Sabda Rasulullah saw: “aku melewati Musa (as) dimalam aku di Isra kan di Katsibil Ahmar dan Musa berdiri di kuburnya dan ia shalat” (Shahih Muslim Bab Fadhail), bahkan firman Allah swt: “Janganlah kalian menyangka orang yang terbunuh dijalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup dan diberi rizki oleh Allah” (Al Imran-169).
Saya perjelas lagi bahwa berdoa di kuburan pun adalah sunnah Rasulullah saw, beliausaw bersalam dan berdoa di Pekuburan Baqi’, dan berkali kali beliau saw melakukannya, demikian diriwayatkan dalam Shahihain Bukhari dan Muslim. Dan beliau saw bersabda : “Dulu aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, maka sekarang ziarahlah”. (Shahih Muslim hadits No.977 dan 1977)
Dan Rasulullah saw memerintahkan kita untuk mengucapkan salam untuk ahli kubur dengan ucapan: “Assalaamu alaikum Ahliddiyaar minalmu’minin walmuslimin, wa Innaa Insya Allah Lalaahiquun, As’alullah lana wa lakumul’aafiah..” (Salam sejahtera atas kalian wahai penduduk penduduk dari Mukminin dan Muslimin, Semoga kasih sayang Allah atas yang terdahulu dan yang akan datang, dan Sungguh Kami Insya Allah akan menyusul kalian, Aku memohon kepada Allah untukku dan kalian Afiah ) (Shahih Muslim hadits No 974, 975, 976). Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah saw bersalam pada Ahli Kubur dan mengajak mereka berbincang-bincang dengan ucapan “Sungguh Kami Insya Allah akan menyusul kalian”.
Rasul saw berbicara kepada yang mati sebagaimana selepas perang Badr, Rasul saw mengunjungi mayat – mayat orang kafir, lalu Rasulullah saw berkata: “wahai Abu Jahal bin Hisyam, wahai Umayyah bin Khalf, wahai ‘Utbah bin Rabi’, wahai syaibah bin rabi’ah, bukankah kalian telah dapatkan apa yang dijanjikan Allah pada kalian…?!, sungguh aku telah menemukan janji tuhanku benar..!”, maka berkatalah Umar bin Khattab ra: “wahai rasulullah…, kau berbicara pada bangkai, dan bagaimana mereka mendengar ucapanmu?”. Rasul saw menjawab : “Demi (Allah) Yang diriku dalam genggamannya, engkau tak lebih mendengar dari mereka (engkau dan mereka sama–sama mendengarku), akan tetapi mereka tak mampu menjawab” (Shahih Muslim hadits No.6498).
Makna ayat: “Sungguh Engkau tak akan didengar oleh yang telah mati”, berkata Imam Qurtubi dalam tafsirnya makna ayat ini bahwa yang dimaksud orang yang telah mati adalah orang kafir yang telah mati hatinya dengan kekufuran, dan Imam Qurtubi menukil hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa Rasul saw berbicara dengan orang mati dari kafir Quraisy yang terbunuh di perang Badr. (Tafsir Qurtubi Juz 13 hal 232).
Berkata Imam Attabari rahimahullah dalam tafsirnya bahwa makna ayat itu: bahwa engkaua wahai Muhammad tak akan bisa memberikan kefahaman kepada orang yang telah dikunci Allah untuk tak memahami (Tafsir Imam Attabari Juz 20 hal 12, Juz 21 hal 55 ).
Berkata Imam Ibn katsir rahimahullah dalam tafsirnya: “walaupun ada perbedaan pendapat tentang makna ucapan Rasul saw pada mayat – mayat orang kafir pada peristiwa Badr, namun yang paling shahih diantara pendapat para ulama adalah riwayat Abdullah bin Umar ra dari riwayat riwayat shahih yang masyhur dengan berbagai riwayat, diantaranya riwayat yang paling masyhur adalah riwayat Ibn Abdilbarr yang menshahihkan riwayat ini dari Ibn Abbas ra dengan riwayat Marfu’ bahwa : “tiadalah seseorang berziarah ke makam saudara muslimnya di dunia, terkecuali Allah datangkan ruhnya hingga menjawab salamnya”.
Dan hal ini dikuatkan dengan dalil shahih (riwayat shahihain) bahwa Rasul saw memerintahkan mengucapkan salam pada ahlilkubur. Dan salam hanyalah diucapkan pada yang hidup, dan salam hanya diucapkan pada yg hidup dan berakal dan mendengar, maka kalau bukan karena riwayat ini maka mereka (ahlil kubur) adalah sama dengan batu dan benda mati lainnya.
Dan para salaf bersatu dalam satu pendapat tanpa ikhtilaf akan hal ini, dan telah muncul riwayat yang mutawatir (riwayat yg sangat banyak) dari mereka, bahwa Mayyit bergembira dengan kedatangan orang yang hidup ke kuburnya”. Selesai ucapan Imam Ibn Katsir (Tafsir Imam Ibn Katsir Juz 3 hal 439).
Riwayat lainnya Rasul saw bertanya – tanya tentang seorang wanita yang biasa berkhidmat di masjid, berkata para sahabat bahwa ia telah wafat.  Maka Rasul saw bertanya : “mengapa kalian tak mengabarkan padaku? Tunjukkan padaku kuburnya” seraya datang ke kuburnya dan menyolatkannya, lalu beliau saw bersabda : “Pemakaman ini penuh dengan kegelapan (siksaan), lalu Allah menerangi pekuburan ini dengan shalatku pada mereka” (Shahih Muslim hadits No.956)
Abdullah bin Umar ra bila datang dari perjalanan dan tiba di Madinah maka ia segera masuk masjid dan mendatangi Kubur Nabi saw seraya berucap: “Assalamualaika Yaa Rasulallah, Assalamualaika Yaa Ababakar, Assalamualaika Ya Abataah (wahai ayahku)”. (Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.10051)
Berkata Abdullah bin Dinar ra: “Kulihat Abdullah bin Umar ra berdiri di kubur Nabi saw dan bersalam pada Nabi saw lalu berdoa, lalu bersalam pada Abubakar dan Umar ra” (Sunan Imam Baihaqiy ALkubra hadits no.10052)
Sabda Rasulullah saw : Barangsiapa yang pergi haji, lalu menziarahi kuburku setelah aku wafat, maka sama saja dengan mengunjungiku saat aku hidup (Sunan Imam Baihaqiy Alkubra hadits no.10054).
Dan masih banyak lagi kejelasan, dan memang tak pernah ada yang mengingkari ziarah kubur sejak Zaman Rasul saw hingga kini selama 14 abad (seribu empat ratus tahun lebih). Semua muslimin berziarah kubur, berdo’a, bertawassul, bersalam dll tanpa ada yang mengharamkannya apalagi mengatakan musyrik kepada yang berziarah. Hanya kini saja muncul dari kejahilan dan kerendahan pemahaman atas syariah, munculnya pengingkaran atas hal – hal mulia ini yang hanya akan menipu orang awam, karena hujjah – hujjah mereka Batil dan lemah.
Dan mengenai berdo’a dikuburan sungguh hal ini adalah perbuatan sahabat radhiyallahu’anhu sebagaimana riwayat diatas bahwa Ibn Umar ra berdoa dimakam Rasul saw. Dan memang seluruh permukaan Bumi adalah milik Allah swt, boleh berdo’a kepada Allah dimanapun, bahkan di toilet sekalipun boleh berdoa, lalu dimanakah dalilnya yang mengharamkan doa di kuburan? Sungguh yang mengharamkan do’a di kuburan adalah orang yang dangkal pemahamannya, karena do’a boleh saja diseluruh muka bumi ini tanpa kecuali.
Berkata Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar :
Bahwa para syuhada hidup sebagaimana Nash Alqur’an, dan para Nabi lebih afdhal dari para Syuhada, sebagaimana buktinya adalah hadits yg dikeluarkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah ra: “Dan bershalawatlah kalian kepadaku, sungguh shalawat kalian disampaikan padaku dimanapun kalian berada”, dan sanadnya shahih. Dan berkata Abu Syeikh dalam kitab Attsawab dengan sanad Jayyid dengan lafadh: “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku di kuburku, aku mendengarnya, dan barangsiapa yang bershalawat padaku dimanapun, maka disampaikan padaku”.
Dan juga riwayat Abu Dawud dan Nasa’i yang dishahihkan oleh Ibn Khuzaimah dari Aus bin Aus dalam keutamaan hari Jum’at: “Maka perbanyaklah shalawat padaku di hari itu karena shalawat kalian ditunjukkan padaku, mereka berkata : Wahai Rasulullah, bagaimana diperlihatkan shalawat padamu jika engkau telah musnah? Maka Rasul saw bersabda : “Allah mengharamkan permukaan Bumi untuk memakan Jasad para Nabi”.
Selesai ucapan Imam Ibn Hajar (Fathul Baari bi Syarah Shahihul Bukhari hadits no.3185 Bab Ahaditsul Anbiya).
Dijelaskan oleh Imam Ibn Katsir dalam Tafsirnya : “Dan friman Nya swt

وقوله: { وَلَوْ أَنْهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا } يرشد تعالى العصاة والمذنبين إذا وقع منهم الخطأ والعصيان أن يأتوا إلى الرسول صلى الله عليه وسلم فيستغفروا الله عنده، ويسألوه أن يستغفر لهم، فإنهم إذا فعلوا ذلك تاب الله عليهم ورحمهم وغفر لهم، ولهذا قال: { لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا }وقد ذكر جماعة منهم: الشيخ أبو نصر بن الصباغ في كتابه “الشامل” الحكاية المشهورة عن العُتْبي، قال: كنت جالسا عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم، فجاء أعرابي فقال: السلام عليك يا رسول الله، سمعت الله يقول: { وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا } وقد جئتك مستغفرا لذنبي مستشفعا بك إلى ربي ثم أنشأ يقول: يا خيرَ من دُفنَت بالقاع (1) أعظُمُه … فطاب منْ طيبهنّ القاعُ والأكَمُ نَفْسي الفداءُ لقبرٍ أنت ساكنُه … فيه العفافُ وفيه الجودُ والكرمُ … ثم انصرف الأعرابي فغلبتني عيني، فرأيت النبي صلى الله عليه وسلم في النوم فقال: يا عُتْبى، الحقْ الأعرابيّ فبشره أن الله قد غفر له

Dan firman Nya swt : “Dan Sunguh ketika mereka telah mendholimi diri mereka sendiri (berbuat dosa) lalu mereka berdatangan padamu (wahai Muhammad saw), lalu mereka beristighfar pada Allah swt, lalu Rasul saw beristighfar untuk mereka, maka mereka akan dapatkan Allah swt menerima tobat mereka dan Maha Berkasih Sayang” (QS Annisa 64). Bahwa Allah swt mengajarkan para pendosa dan yg berbuat maksiat jika terjadi dosa dan kesalahan pada mereka, agar mengunjungi Rasul saw, dan beristighfar pada Allah swt dihadapan Rasul saw, dan meminta pada Rasul saw agar memohonkan pengampunan bagi mereka, dan sungguh jika mereka berbuat itu maka Allah swt memberikan Taubat pada mereka dan menyayangi mereka, dan mengampuni mereka, untuk hal inilah firman Nya : “maka mereka akan dapatkan Allah swt menerima tobat mereka dan Maha Berkasih Sayang”.
Dan telah teriwayatkan jamaah di antara mereka Syeikh Abu Nashr bin Asshibagh pada kitabnya Assyaamil, mengenai riwayat yang masyhur dari Imam Al Utby, maka ia berkata: suatu waktu aku sedang duduk di hadapan Kubur Nabi saw, maka datanglah seorang Dusun dan berkata : Assalamualaika Yaa Rasulullah, aku menegtahui firman Allah swt : ..(seraya membaca ayat di atas).., “maka kini aku datang padamu, memohon pengampunan dosa, dan memohon bantuan syafaatmu kepada Tuhanku”.
Lalu ia berpantun: “Wahai Yang sebaik baik dimakamkan pada belahan bumi mulia, maka termuliakanlkah sebab kemuliaannya wilayah sekitar, Diriku adalah penjamin keselamatan Kubur yg engkau menempatinya, karena terpendam padanya Maaf Allah swt dan kedermawanan dan Keluhuran”.
Lalu orang dusun itu keluar, maka aku (Imam Al Utby) mengantuk, lalu aku bermimpi Rasul saw dalam tidurku dan berkata : Wahai Utbiy, kejar orang dusun itu, katakan kabar gembira untuknya bahwa ia telah diampuni Allah swt. Selesai ucapan imam Ibn Katsir. (Tafsir Imam Ibn Katsir Juz 2 hal 347/348, Annisa 64).
Demikian pula hikayat ini diriwayatkan oleh Hujjatul Islam Al Imam Nawawi pada kitabnya Al Majmuk juz 8 hal 217, dan pada kitab Al Iidhah hal 498.
Bacaan yang dianjurkan saat berziarah ke makam beliau saw tentunya memperbanyak do’a, sebagaimana para sahabat pun demikian. Dan tentunya bersalam kepada Rasul saw, Khalifah Abubakar Asshiddiq ra dan Khalifah Umar bin Khattab r.a yang sama–sama dimakamkan di tempat tersebut secara berdekatan.
Demikian saudaraku yang kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dengan segala cita cita, Wallahu a’lam….
Majelis Rasulullah  Saw


abdkadiralhamid@2013

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kupas Tuntas Ziarah Kubur dan Tawassul Versi Ahlussunnah Waljama’ah"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip