//

Konsep Ajaran Abu Yasid al-Bustami

Konsep Ajaran Abu Yasid al-Bustami


1. Riwayat Hidup Abu Yasid al-Bustami Abu Yasid 


 al-Bustami lahir di Bustam, bagian timur laut Persia tahun 874-947 M. nama lengkapnya adalah Abu Yasid Thaifur bin Isa bin Adam bin Surusyam. Semasa kecilnya dipanggil Thaifur, kakeknya bernama Surusyam yang menganut ajaran Zoroaster yang telah memeluk agama Islam dan ayahnya salah seorang tokoh masyarakat di Bustam. Al-Bustami atau dalam beberapa tulisan disebut juga Bistomi, Bustomi dan Bastomi sering juga disebut Bayazid. Ibunya dikenal sebagai zahid (orang yang meninggalkan keduniaan) dan kakaknya Surusyam sebelum memeluk Islam adalah penganut agama Majusi .¨Al Bustami mempelajari ilmu fiqh terutama mazhab Hanafi lalu kemudian mendalami tasawuf. Sebagian besar kehidupan "sufi" dan "abid"nya dilaluinya di Biston. Ia selalu mendapat tekanan dari para ulama Mutakallimin (Teolog) serta Penduduk di kota kelahirannya yang tidak mengizinkan ia tinggal menyebabkan ia terusir dari negerinya sampai akhirnya wafat pada tahun 261 H bertepatan dengan tahun 875 M .¨Al-Bustami tidak meninggalkan karangan atau tulisan tetapi ia terkenal lantaran ucapan-ucapannya. Terkadang ungkapannya dipandang sebagai al-syathahat atau ungkapan ketuhanan misalnya ungkapannya :¨"Maha suci Aku, Maha suci Aku, betapa besar keagungan-Ku" yang belakangan dikumpulkan dalam kitab al-Luma (buku pancaran sinar) yang ditulis oleh al-Sarraj . Setelah ia wafat para ahli sufi masih banyak mengunjungi makam al-Bustami, misalnya al-Hujwiri, bahkan sejumlah ahli sufi lainnya menaruh hormat terhadap al-Bustami meski bukan berarti mereka menerima kalimat-kalimatnya tanpa koreksi.¨Pengikut al-Bustami kemudian mengembangkan ajaran tasawuf dengan membentuk suatu aliran tarikat bernama Taifuriyah yang diambil dari nisbah al-Bustami yakni Taifur. Pengaruh tarikat ini masih dapat dilihat di beberapa dunia Islam seperti Zaousfana', Maghrib (meliputi Maroko, al-Jazair, Tunisia), Chittagong dan Bangladesh. Makam al-Bustami terletak di tengah kota Biston dan dijadikan objek ziarah oleh masyarakat. Sebagian masyarakat mempercayai sebagai wali atau orang yang memiliki kekeramatan. Sultan Moghul, Muhammad Khudabanda memberi kubah pada makamnya pada tahun 713 H / 1313 M atas saran penasehat agama sultan bernama Syaikh Syafaruddin . 

2. Konsep Tasawuf Abu Yasid al-Bustami a. Al-Fana’ dan al-Baqa 

Ajaran tasawuf terpenting Abu Yasid adaah Fana’ dan Baqa’. Secara harfiah fana’ berarti meninggal dan musnah, dalam kaitannya dengan sufi, maka sebutan tersebut biasanya digunakan dalam proposisi fana’an artinya kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu. Sedangkan dari segi bahasa kata fana’ berasal dari bahasa Arab, yakni faniya-yafna yang berarti musnah, lenyap, hilang, atau hancur. Adapun arti fana’ menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Pendapat lain fana’ berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan, dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat tercela. Sedang baqa’ berasal dari kata baqiya dari segi bahasa berarti tetap, sedang menurut istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Dalam kaitannya dengan sufi, maka sebutan baq biasanya digunakan dengan proposisi baqa’bi, yang berarti diisi dengan sesuatu, hidup atau bersama dengan sesuatu. Dalam kamus Al-Kautsar, baqa’ berarti tetap, tinggal, kekal. Bisa juga berarti memaafkan segala kesalahan sehingga yang tersisa hanyalah kecintaan kepada-Nya. Dalam tasawuf fana’ dan baqa’ datang beriringan, sebagaimana dinyatakan oleh para ahli tasawuf, “apabila nampaklah nur kebaqa’an, maka fana’lah yang tiada dan baqa’lah yang kekal. Tasawuf ini adalah fana’ dari dirinya dan baqa’ dengan Tuhannya karena hati mereka bersama Allah. Pencapaian Abu Yasid ketahap fana’ dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan Allah. Jalan menuju fana’ menurut Abu Yasid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan, ia bertanya “bagaimana caranya agar aku sampai pada-Mu” Tuhan menjawab, “tinggalkan diri (nafsu) mu dan kemarilah”. Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan pahan fana’ karena keduanya merupakan faham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’ ketika itu juga sedang mengalami baqa’, al-Quraisyi menyatakan, “Barang siapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang fana’ dari syahwatnya, tatkala fana’ dari syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan keikhlasan ibadah, barang siapa yang hatinya zuhud dari kehidupan, maka ia sedang fana’ dan keinginannya, berarti pula sedang baqa’ dalam ketulusan inabahnya…” Dengan demikian, sesuatu dalam diri sufi akan fana’ atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa’ (tinggal) ilmu dalam dirinya. Dengan demikian yang tinggal dalam dirinya sesuatu yang baik. Sesuatu yang hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lainnya akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul taqwa. b. Al-ittihad Ittihad secara bahasa berasal dari kata ittihadu-yattahidu yang berarti dua benda menjadi satu. Yang dalam istilah para sufi adalah satu tingkatan dalam tasawuf yaitu bila seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Tahapan ini merupakan tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia melalui tahapan fana’ dan baqa’. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dengan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Ada dua tingkat pertanyaan (ittihad) yang biasa dibedakan yaitu merasa bersatu dengan Tuhan, tetapi tetap menyadari perbedaan dirinya dengan Tuhan. Yang disebut tingkat pertama. Pada tahap selanjutnya adalah kesadaran dari ketiadaan yang bersama-sama dan mistik yaitu kesadaran akan adanya maha Zat yang sangat berbeda. Kaum sufi memandangnya sebagai tingkat kebersatuan mutlak yaitu bersatunya kebersatuan. Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut syatahat. Dengan fana’nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, bahwa ia telah dekat dengan Tuhan dapat dilihat dari syatahat yang diucapkannya. Ucapan-ucapan yang demikian belum pernah didengar dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya:

ردقكلم تناو ىلكبحنم بجعتأ ىنكلو ريقف دنع ان أفكل ىبح نم بجعتأ تسل 

“ Aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu karena aku adalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku karena engkau adalah Raja Maha Kuasa”

Ketika berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata: 

تنا ناونا تنأف : تلقف كريغ ىقلخ مهلكمهنإ ديزيابااي لاق 
“Tuhan berkata, “Semua mereka kecuali engkau adalah mahluk”. Aku pun berkata, “Engkau adalah aku, dan aku adalah engkau.”

Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Karena itu dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan orang awam. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Abu Yazid, menurut penulis bukan berarti bahwa Abu Yazid adalah Tuhan, akan tetapi kata-kata iti adalah suara Tuhan yang disalurkan melalui Abu Yazid yang sedang fana’an nafs. Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan seperti fir’aun. Proses ittihad Abu Yazid adalah naiknya jiwa manusia kehadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat hanyalah hakekat yang satu yakni Allah. Bahkan ia tidak melihat dan menyadari dirinya terlebur dalam Dia yang dilihat. 3. Beberapa Analisa Terhadap Ungkapan-ungkapan al-Bustami Apabila dilihat sepintas, maka dari ungkapan-ungkapan al-Bustami dapat dikategorikan sebagai paham yang menyimpang dari ketentuan agama seperti pernyataannya "Aku ini adalah Allah tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku" yang telah dikemukakan di atas. Secara harfiah al-Bustami seakan-akan mengaku sebagai Tuhan pada saat Fana'. Namun kalau kita perhatikan kata-kata beliau dalam keadaan biasa (tidak dalam keadaan Fana') yang mengatakan "kalau kamu lihat seseorang mempunyai keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang di udara maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syari'at dan dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari'at", maka dapat dipahami bahwa al-Bustami dalam tasawuf tidaklah keluar dari garis-garis syari'at. Memang ungkapan-ungkapan al- Bustami seakan-akan beliau mengaku dirinya Tuhan, namun sebenarnya bukan itu yang dimaksudnya, karena kata-kata itu adalah firman Tuhan yang disalurkan lewat lidah al- Bustami yang sedang dalam keadaan Fana'al-nafs. Dalam hal ini beliau menjelaskan "Sesungguhnya yang berbicara melalui lidahku adalah dia sementara aku telah Fana'". Jadi sebenarnya Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya sebagai Tuhan, namun perkataanya menimbulkan berbagai tanggapan.¨Al-Tusi mengatakan : Ucapan ganjil (al-Syaht) adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah atas limpahan intuisi dari dalam relung hatinya dan dibarengi seruan . Seorang sufi yang sedang trance tidak bisa mengendalikan diri sepenuhnya sehingga sulit untuk bisa mengendalikan apa yang bergejolak dalam qalbunya dan membuat seseorang mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami oleh pendengarnya.¨Oleh sebab itu menurut al-Tusi, bila seorang sufi sedang Fana' dari hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, bukan berarti ia kehilangan sifat-sifat basyariahnya sebab sifat itu tidak dapat sirna dari diri manusia. Akan sangat berbahaya dari keyakinan seorang muslim jika menganggap kefana'an adalah kefana'an sifat-sifat manusia dan ia bersifatkan sifat-sifat ketuhanan.


abdkadiralhamid@2013

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Konsep Ajaran Abu Yasid al-Bustami "

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip