//

Abdul Qadir al-Jailany


Abdul Qadir al-Jailany 

Nama lengkapnya adalah Abu Shalih Sayyidi Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Shalih Musa (Zonki Dost) bin Abu Abdullah Al-Jily bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa al-Jun bin Abdullah al-Mahdhi bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib.


Al – Syekh Abu Muhammad Abdul Qadir Al – Jailany adalah keturunan Sayyidina Hasan , cucu Rasulullah dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib; kakeknya adalah Abi Abdillah Al – Shuma’I yang berasal dari daerah Jilan, Persia ( Iran ) dan populer dengan karomah dan kemuliaannya. Adapun ibundanya adalah seorang ibu yang dan istimewa, yaitu Fatimah binti Abi Abdillah Al – Shuma’i; ibundanya juga memiliki karomah dan kemuliaan; keturunan Sayyidina Husein.



Jauh sebelum Syekh Abdul Qadir lahir; ayahandanya bermimpi bertemu Rasulullah saw bersama sejumlah sahabat,para Mujahidin, dan Para Wali. Dalam mimpi itu, Rasulullah saw bersabda :






“Wahai Abu Shalih, Allah swt akan memberi amanah seorang anak laki-laki, yang kelak akan mendapat pangkat tinggi dalam kewalian. Sebagaimana aku mendapat pangkat tertinggi dalam kenabian dan kerasulan.”

Abu Shalih wafat saat putranya masih teramat muda, sehingga Syekh Abdul Qadir diasuh dan dibesarkan oleh kakeknya.


Syekh Abdul Qadir lahir pada pertengahan bulan Ramadhan tahun 471 H ( 1051 M ) di daerah Jilan. Di daerah itu beliau melewati masa kecilnya sampai usia 18 tahun. Kemudian pergi ke Baghdad pada tahun 488 H sampai masa akhir hayatnya. Syekh Abdul Qadir berperawakan kurus, tingginya sedang, berdada bidang dengan janggut lebat dan panjang.

Warna kulitnya sawo matang, kedua alisnya bersambung, suaranya keras dan lantang, mudah bergaul, punya derajat mulia dan ilmu pengetahuan luas.


Binar mata Syeikh Abdul Qadir Ra terpancar dalam lingkungan yang terkenal dengan ilmu pengetahuannya serta didukung dengan berbagai karomah. Ayahandanya adalah salah seorang tokoh ulama Jilan, sedangkan ibundanya yang juga dikenal dengan karomahnya adalah putri dari Abdullah Al – suma’i, seorang ahli Makrifat, ahli ibadah dan zuhud. Maka bersemilah nuansa keilmuan, fiqih, hakikat dan makrifat didalam dirinya.



Masa kanak-kanak dan remaja.

Ibunda Syekh Abdul Qadir bercerita :

”Semenjak aku melahirkan anakku itu, ia tidak pernah menetek pada siang bulan ramadhan. Suatu kali, lantaran hari berawan, orang-orang tidak bisa melihat bulan sabit guna menentukan telah masuknya bulan Ramadhan. Lalu mereka mendatangiku dan bertanya tentang Abdul Qadir, karena mereka tahu bahwa anakku itu tidak pernah menetek di siang bulan Ramadhan. Aku katakan kepada mereka bahwa abdul Qadir siang itu tidak menetek. Maka mereka pun tahu bahwa hari itu adalah awal Ramadhan. Sejak itu, beliau menjadi terkenal sebagai keturunan orang-orang terhormat (mulia), yang salah satu tandanya adalah beliau tidak mau menetek kepada ibunya pada siang bulan Ramadhan.”

Syekh Abdul Qadir bercerita :


“Ketika masih kecil, setiap hari aku di kunjungi seorang malaikat dalam bentuk seorang pemuda tampan. Dia berjalan bersamaku dari rumah kami ke sekolah dan membuat anak-anak di dalam kelas memberiku tempat di barisan pertama. Dia tinggal bersamaku sepanjang hari dan kemudian membawaku pulang ke rumah. Dalam sehari, aku belajar lebih banyak daripada pelajar-pelajar yang lain belajar dalam satu minggu. Aku tidak tahu siapa dia. Suatu hari aku bertanya kepadanya, dan dia berkata, “aku salah satu malaikat Allah swt. Dia mengirim dan memerintahkanku selama engkau belajar.”


Suatu hari, malam I’dul Adha, Aku pergi ke ladang kami untuk menggarap tanah. Selama aku berjalan di belakang lembu jantan, dia memalingkan kepalanya dan melihatku, seraya berkata:


“Engkau tidak diciptakan untuk ini!”


Aku sangat ketakutan dan berlari ke rumah dan memanjat ke atap rumah petak bertingkat. Ketika mengintai keluar, aku melihat para jama’ah haji berkumpul di padang Arafah tepat di depanku.


Aku pergi ke ibuku, yang waktu itu sudah janda, dan meminta kepadanya:


“Kirimlah aku ke jalan kebenaran, berilah aku ijin untuk pergi ke Baghdad, untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bersama-sama dengan orang bijak dan orang-orang yang dekat kepada Allah swt.”


Ibuku bertanya kepadaku,


”Apa alasan untuk permintaan yang tiba-tiba tersebut?”


Aku mengatakan kepadanya apa yang terjadi pada diriku. Dia menangis; tetapi mengeluarkan delapan puluh batang emas, semua adalah warisan ayahku. Dia menyisakan empat puluh untuk saudara laki-lakiku. Empat puluh batang lainnya, dia jahit kebagian ketiak mantelku. Kemudian dia mengizinkan diriku untuk meninggalkan dirinya, tetapi sebelum ibuku membiarkan aku pergi, beliau meminta diriku berjanji kepadanya, bahwa aku akan berkata benar dan menjadi orang yang jujur, apapun yang terjadi. Ibu melepaskan kepergianku dengan kata-kata:”Mudah-mudahan Allah melindungi dan membimbingmu, anakku. Aku memisahkan diriku dari orang yang paling mencintaiku karena Allah swt. Aku tahu bahwa aku tidak akan dapat melihatmu sampai hari pengadilan terakhir.”


Aku bergabung dengan sebuah kafilah kecil yang sedang pergi ke Baghdad. Ketika telah meninggalkan kota Hamadan; sekelompok perampok jalanan berjumlah enam puluh orang dengan menunggang kuda menyerang kami. Mereka mengambil segala sesuatu yang setiap orang miliki. Salah seorang di antara mereka datang kepadaku dan bertanya,:


Anak muda, harta apa yang kamu miliki?”


Aku menceritakan kepadanya, bahwa aku mamiliki empat puluh batang emas. Dia bertanya :


”dimana?”


Aku mengatakan :


“Di bawah lenganku.”


Dia tertawa dan meninggalkanku sendiri. Perampok lainnya datang dan bertanya hal yang sama, dan aku berkata hal yang sebenarnya. Mereka meninggalkanku sendirian dan melaporkan kepada pemimpin mereka. Lalu pemimpin perampok memanggilku ke tempat dimana mereka sedang membagi hasil rampasan. Dia bertanya apakah aku memiliki sesuatu barang berharga. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku memiliki empat puluh batang emas yang dijahit di mantelku dibawah ketiak. Dia mengambil mantelku, merobek bagian lengan mantel dan menemukan emas tersebut. Kemudian dengan rasa takjub, dia menanyaiku:


”Ketika uangmu telah aman, apa yang memaksamu untuk menceritakan kepada kami bahwa kamu memiliki emas dan dimana disembunyikan?”


Aku menjawab,” Aku harus mengatakan sebenarnya dalam keadaan apapun, sebagaimana telah ku janjikan kepada ibuku.”


Ketika pemimpin perampok mendengar hal itu, dia menitikkan air mata dan berkata:


” Aku telah mengingkari janjiku kepada siapa yang telah menciptakanku. Aku mencuri dan membunuh. Apa yang terjadi padaku?”


Dan anak buahnya memandangnya, sambil berkata,


”Engkau telah menjadi pemimpin kami selama bertahun-tahun dalam perbuatan dosa. Sekarang juga menjadi pemimpin dalam penyesalan!”


Semua enam puluh orang memegang tanganku dan menyatakan menyesal serta mengubah jalan hidup mereka. Keenam puluh orang itu adalah orang yang pertama memegang tanganku dan mendapatkan keampunan untuk dosa-dosa mereka.

Syekh Abdul Qadir di Baghdad

Ketika Syekh Abdul Qadir Al-Jailany Ra tiba di Baghdad, beliau berusia 18 tahun. Ketika beliau mencapai pintu gerbang kota, Nabi Khidir muncul dan menghalanginya untuk memasuki pintu gerbang kota. Nabi Khidir berkata kepadanya bahwa hal itu adalah perintah Allah untuk tidak memasuki kota Baghdad selama tujuh tahun yang akan datang.


Nabi Khidir membawanya ke sebuah reruntuhan di gurun pasir dan berkata:”Tinggallah disini dan jangan meninggalkan tempat ini.” Syekh Abdul Qadir tinggal disana selama tiga tahun. Setiap tahun, Nabi Khidir akan muncul kepadanya dan berkata kepadanya dimana beliau harus tinggal.


Syekh Abdul Qadir Al-jailany Ra bercerita mengenai masa tiga tahun yang di alaminya :


“Selama aku tinggal di gurun, diluar kota Baghdad; semua keindahan duniawi dating menggodaku. Allah melindungiku dari gangguan mereka. Setan yang muncul dalam wujud dan bentuk berbeda-beda terus mendatangiku, menggodaku, mengacaukanku dan melawanku. Allah telah memberikanku kemenangan atasnya. Nafsuku mengunjungiku setiap hari dalam wujud dan bentukku sendiri, memintaku untuk menjadi temannya. Ketika Aku akan menolaknya, ia hendak menyerangku. Allah memberiku kemenangan dalam perlawanan dengan nafsuku. Pada waktunya aku dapat menjadikannya tawananku dan menahannya bersamaku selama tahun-tahun itu, memaksanya tinggal di reruntuhan gunung pasir. Satu tahun penuh aku telah memakan rumput-rumputan dan akar-akaran yang dapat kutemukan dan tidak meminum air apapun. Tahun yang lain, aku telah minum air tetapi tidak makan sebutirpun makanan. Tahun lainnya, aku tidak makan, minum ataupun tidur. Sepanjang waktu ini, aku hidup dalam reruntuhan dari raja-raja kuno Parsia di Karkh. Aku berjalan dengan kaki telanjang di atas duri dan onak padang pasir dan tidak merasakan suatu apapun. Kapan saja aku melihat sebuah jurang ( karang yang terjal ) aku memanjatnya; aku tidak memberikan istirahat satu menitpun atau menyenangkan nafsuku, kepada keinginan-keinginan rendah jasmaniku.


Pada akhir dari masa tujuh tahun itu, aku mendengar sebuah suara pada suatu hari :


”Wahai Abdul Qadir, engkau sekarang diizinkan memasuki Baghdad.”

Aku sampai di Baghdad dan melewatkan beberapa hari disana. Segera aku tidak dapat berada dalam keadaan dimana hasutan, kejahatan, tipu daya telah mendominasi kota. Untuk menyelamatkan diriku sendiri dari kejahatan kota yang mengalami kemerosotan moral dan menyelamatkan keimananku, aku meninggalkannya. Hanya al-Qur’an yang kubawa bersamaku. Ketika tiba di pintu gerbang, dalam perjalanan untuk berkhalwat ku di padang pasir, aku mendengar sebuah suara:



”Kemana engkau akan pergi?” kata suara itu.


”Kembali. Engkau harus melayani orang-orang.”


“Apa yang dapat kupedulikan mengenai orang-orang?” Aku menyanggah. “Aku ingin menyelamatkan keimananku!”


“Kembalilah dan jangan pernah merasa khawatir terhadap keimananmu” suara itu melanjutkan, “Tidak ada sesuatupun yang akan membahayakanmu.”


Aku tidak dapat melihat siapa orang yang berkata tersebut.


Kemudian sesuatu terjadi padaku. Terputus dari kondisi luar, aku masuk dalam keadaan tafakur. Sampai hari berikutnya, aku memusatkan pikiran pada sebuah harapan dan berdo’a kepada Allah swt agar dia membukakan selubung untukku, sehingga tahu apa yang harus kulakukan.


Hari berikutnya, ketika tengah berkeliling di sebuah pemukiman bernama Mudzaffariyyah, seorang lelaki yang aku tidak pernah kulihat membuka pintu rumahnya dan menyilahkan aku masuk,


“Mari Abdul Qadir!”


ketika aku sampai di pintunya, dia berkata,


”Katakan kepadaku, apa yang anda harapkan dari Allah? Do’a apa yang anda panjatkan kemarin?”


Aku ketakutan, dengan penuh ketakjuban. Aku tidak dapat menemukan kata-kata untuk menjawabnya. Laki-laki tersebut memandang ke wajahku dan mengempaskan pintu dengan kasar seperti itu, debu berkumpul di sekelilingku dan menutupi seluruh tubuhku. Aku berjalan pergi, sambil bertanya apa yang telah kuminta kepada Allah sehari sebelumnya. Kemudian aku teringat. Aku balik kembali untuk mengatakan kepada laki-laki tersebut, tetapi tidak dapat menemukan baik rumah ataupun dirinya. Aku sangat khawatur, ketika menyadari bahwa dia adalah seorang yang dekat kepada Allah. Sesungguhnya, belakangan aku mengetahui, dia adalah Hammad ad-Dabbas, yang telah menjadi Syekh ( guru) ku.


Pada suatu malam yang dingin dan gerimis, sebuah tangan tak terlihat membawa Syekh Abdul Qadir kepada tekke, tempat bermalam mistis, milik Syekh Hammad bin Muslim ad- Dabbas. Syekh Hammad yang mengetahui dengan inspirasi Ilahiah tentang kedatangannya, menutup pintu-pintu tempat menginap ( mistis ) dan memadamkan lampu. Ketika Syekh Abdul Qadir duduk di bendul ( ambang )pintu yang terkunci, beliau tertidur. Beliau telah mengeluarkan sperma ( mimpi basah )di malam hari dan pergi mandi di sungai dan mengambil air wudhu. Beliau tertidur lagi dan hal yang sama terjadi tujuh kali pada malam itu. Setiap kali beliau mandi dan mengambil air wudhu dalam air sedingin es. Pagi harinya, pintu gerbang telah terbuka dan beliau memasuki tempat penginapan sufi. Syekh Hammad berdiri menyambutnya. Meneteskan air mata gembira, dia memeluknya dan berkata:

”Wahai putraku Abdul Qadir, keberuntungan adalah milik kami hari ini, tetapi besok hal itu menjadi milikmu. Jangan pernah meninggalkan jalan ini.”


Syekh Hammad menjadi guru pertamanya dalam ilmu pengetahuan tentang mistisme. Dengan memegang tangannya, beliau mengucapkan sumpah dan mengikuti jalan sufi.


Syekh Abdul qadir memahami bahwa menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap muslimin dan muslimah. Lantas dengan keseriusan dan kesungguhan, berangkatlah beliau menuntut ilmu ke para tokoh Ulama yang selalu membimbingnya. Beliau memulai masa pendidikannya dengan belajar mambaca Al-qur’an kepada Abu Al-Wafa bin Aqil Al-Hambali, Abu Al-Khitab Mahfudz Al-Kalwadany Al-Hambali dan masih banyak lagi yang lainnya, sampai fasih dalam pembacaannya.


Beliau belajar hadits dari para ulama ahli hadits di zamannya seperti Abu Ghalib Muhammad bin Hasan Al-Balakilany dan yang lainnya. Beliau juga belajar ilmu Fiqih dari para fuqaha yang masyhur di zamannya, seperti Abu Sa’id Al-Mukharrimi. Selanjutnya beliau belajar ilmu bahasa dan sastra kepada Abu Zakaria Yahya bin Ali Al-Tibrizi. Akhirnya, beliau mendalami berbagai disiplin ilmu pengetahuan dengan pemahaman yang mendalam : ilmu syari’at, tarekat, bahasa dan sastra; sehingga beliau menjadi pemimpin dan guru besar mazhab Hambali. Allah swt memberikan hikmah dengan perantaraan lisannya yang memberikan wejangan dalam berbagai majelisnya.


Walaupun Syekh Abdul Qadir belajar sufi kepada Syekh Hammad ad-Dabbas, tapi yang memberikan jubah darwis ( symbol dari jubah Rasulullah ) adalah Abu Sa’ad Al Mubarak bin Ali Al-Mukharrimi, ulama terbesar pada zamannya di Baghdad, pemilik madrasah di Babulijadz, yang kemudian diserahkan kepada Syekh Abdul Qadir.

Syekh Ja’far bin Hasan Al-Barzanji ( penyusun maulid Barzanji ) menulis :


Guru-guru Ilmu Fiqih Syeikh Abul Qadir :

• Abu wafa ali bin Aqiel
• Abu Khatab Al-Kalwadzani
• Muhammad bin Abu Ya’la
• Syekh Abu Sa’ad Al-Mubarak bin Muharrimi Al-Baghdadi ( guru besar Mazhab Hanafi )
• Syekh Abu Khattab Mahfudz bin Ahmad bin Hasan Al-Iraqi


Guru-guru Bahasa dan Sastra beliau :


• Syeikh At-Tibrisi
• Abu Zakarya Yahya bin Ali bin Muhammad bin Hasan Bustam As-Syaiban Al-Khotib At-Tibrizi


Guru tasawuf beliau :


• Syekh Abi Khair Hammad bin Muslim Ad-Dabbas
• Belajar di Madrasah Nizamiyah, pimpinan Imam Ghazali.



Guru-guru ilmu hadits beliau :


• Abu Muhammad bin Ja’far bin Ahmad bin Hasan Al-Baghdadi
• Abu Ghalib Muhammad bin Hasan bin Ahmad bib Hasan bin Khadzadadza Al-Baqilani
• Syekh Abu shadiq Abu Saad Muhammad bin Abdul Karim bin Kusyasyi Al-Baghdadi
• Syekh Abu Bakar Ahmad bin Muzaffar bin Husein bin Abdullah At-Tammar
• Syekh Abulqasim Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Bayan bin Razzaz
• Syekh Abu Thalib Abdulqadir bin Muhammad bin Abdulqadir bin Yusuf Al-Baghdadi Al-Yusufi, Syekh Abu Barakat


Syekh Ja’far bin Hasan Al-Barzanji berkata :

“Syekh Abdul Qadir menguasai 13 ilmu pengetahuan. Dalam berfatwa beliau selalu menggunakan dua Mazhab, yaitu Mazhab Syafi’i dan Hambali. Beliau memang terkenal sebagai fuqaha yang sangat menguasai ilmu fiqih”



Syekh Abdul Qadir bercerita :


Pada suatu pagi aku melihat Rasulullah saw. Beliau bertanya kepadaku:


”Mengapa engkau tidak bicara?”


Aku menjawab:


Aku tiada lain adalah seorang Persia, bagaimana Aku bisa berbicara dengan bahasa arab yang indah dari Baghdad ?”


“Buka mulutmu” beliau berkata, dan kulakukan perintahnya.


Rasulullah lantas meniupkan nafasnya ke mulutku tujuh kali dan berkata:


“Pergilah, tunjukkan kepada umat manusia dan ajaklah mereka kepada jalan Allah swt dengan bijak dan kata-kata indah.


Kemudian Aku bertemu Imam Ali bin Abi Thalib dan memintaku untuk membuka mulutku, kemudian meniupkan nafasnya sendiri ke dalam mulutku sebanyak enam kali. Aku bertanya:


”mengapa anda tidak melakukannya tujuh kali seperti yang dilakukan Rasulullah saw?”


Beliau menjawab:


“karena rasa hormatku kepadanya.” kemudian beliau menghilang.


Beliau memberikan wejangan pada bulan syawal tahun 521 H di Madrasah Abu Sa’id Al-Mukhorrimi, daerah Babulijaz, Baghdad. Beliau menyuarakan secara lantang semangat zuhud. Madarasah tersebut dipadati jama’ah sampai beliau dipindahkan ke sebuah Musholla diluar Baghdad. Jama’ah yang hadir pada saat itu sangat banyak, sekitar 70 000 orang. Murid-murid yang berguru kepadanya semakin banyak, dari kalangan ahli Fiqih, ahli Hadits, para Ulama serta ahli Sufi yang memiliki derajat keistimewaan dan kemuliaan.


Beliau telah menyusun banyak karya dalam bidang ushul fiqih, tasawuf dan hakikat. Di antara karya-karyanya adalah :


1. Ighatsah Al-Arifin wa Ghayah Muna Al-Washilin ( Pertolongan untuk ahli Makrifat dan tujuan ideal para ahli Makrifat ).


2. Awrad Al-Jailany wa Ad’itatih ( beberapa wirid dan doa-doa Syekh Abdul Qadir Al-Jailany )


3. Adab Al-Suluk wa Al-Tawashul ila Manazil Al-Muluk ( adab penempuhan Ruhani menuju kerajaan ilahi )


4. Tuhfat Al-Muttaqin wa Sabil Al-Arifin ( persembahan orang-orang bertaqwa dan jalan para ahli Makrifat )


5. Jala’ Al-Khathir fi Al-Bathin wa Al-zhahir ( penampakan hati tentang yang batin dan zhahir )


6. Risalah Al-Ghautsiyah ( Risalah Wali Ghauts – tingkatan wali dibawah kedudukan nabi SAW )


7. Risalah fi Al-Asma’ Al-Azhim li Al-Thariq ila Allah ( Risalah tentang beberapa nama Allah guna menuju kepadanya )


8. Al-Gunyah li Al-Thalib Al-Haqq ( Rasa kecukupan bagi para pencari Al-Haq ).


9. Al-Fathur Rabbani wal Faydur Rahmani


10. Sittin Majalis


11. Hizbul Raja’ul Intiha


12. Al-hizbul Kabir


13. Ad-Du’aul Awrad Al-fatihah


14. Ad-Du’a al-Basmalah


15. Al-Fuyudath Rabbaniyyah


16. Mi’raj Latif al-Ma’ani


17. Yawaqit Hikam Sirul Asrar






Masa Syekh Abdul Qadir Al-Jailany yaitu abad ke 5 H, adalah masa yang masyhur dengan cakrawala ilmu pengetahuan dan maju dalam bidang sastra. Pada masa itu muncul para ulama besar dan para penulis yang handal seperti : Abu Ishaq Al-Syairazy, Al-Ghazali, Abu Wafa bin Aqil, Abdul Qadir Al-Jurjany, Abu Zakaria Al-Tabrizy, Abu Qasim Al-Hariry, Al-Zamahsary dll. Mereka itulah yang memenuhi abad tersebut dengan menguasai berbagai aspek rasionalitas dan berbagai orientasi. Mereka juga adalah para tokoh sastra dan intelektual. Tidak seorangpun pada masa tersebut yang bisa mewarnai masyarakatnya, kecuali harus terjun kedalam gelanggang ilmu pengetahuan yang merupakan kehidupan ilmiah dan berbagai sumber disiplin ilmu pengetahuan. Diberbagai daerah penuh dengan tempat belajar dan halaqah pembelajaran seperti kota Baghdad.


Dalam masyarakat berperadaban waktu itu tidak ada seorangpun yang terkenal dan memiliki pengaruh amat luas, kecuali seorang ulama yang sangat tinggi wawasan ilmu pengeetahuannya, kapabel dalam ilmu keagamaan dan ilmu keduniawian, bahkan para ulama selanjutnya mengakui keistimewaan tersebut dan mengklaim dia sebagai seorang ulama yang paling luas wawasan intelektualnya.

Akhlak mulia Syekh Abdul Qadir Al-Jailany Ra.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailany Ra memiliki sifat-sifat yang terpuji dan juga mempunyai peninggalan karya ilmiah yang banyak, bahkan secara mutawatir dikenal karena berbagai daya dan karomah yang beliau miliki.


Beliau selalu berpakaian khas Ulama, berselendang ( serban), menunggang keledai, berbicara di atas kursi yang tinggi. Terkadang beliau berjalan beberapa langkah di udara di atas kepala orang-orang yang hadir, lalu kembali ke kursinya. Beliau pernah berkata :

“Aku pernah melewati hari-hariku tanpa makan sama sekali. Ketika itu datang seseorang membawa sebuah wadah yang ternyata berisi sejumlah dirham dan makanan di atasnya. Aku pun mengambil sekerat roti, lalu duduk menyantapnya.”
Namun tiba-tiba di hadapanku ada secarik kertas yang bertuliskan :


“Allah swt mengatakan didalam sebagian kitab yang diturunkannya bahwa Nafsu Makan itu hanya dijadikan bagi makhluk-makhluk yang lemah agar mereka sanggup(bertenaga) untuk melaksanakan ketaatan kepada Ku. Sedangkan bagi mereka yang kuat, maka nafsu makan itu tidak perlu bagi mereka. Membaca tulisan itu, aku segera meninggalkan makanan itu, lantas pergi.”



Suatu kali beliau bercerita tentang dirinya :

”Pada awal-awal kehidupanku, aku mengalami masa-masa sulit, namun aku hadapi dengan tabah. Kala itu, aku berpakaian dari bulu binatang, bertutup kepala dari kain jelek, dan berjalan kaki di atas duri dan onak jalanan lainnya. Yang aku makan hanya belalang, sisa-sisa sayuran dan daun-daun muda di pinggiran sungai. Aku suka pura-pura tuli dan pura-pura gila, kalau sedang berada di tengah-tengah manusia. Masa-masa pahit itu berlangsung selama beberapa tahun hingga akhirnya Allah swt merubah keadaanku.”


Pernah ada orang bertanya kepadanya :

”Bagaimana cara membebaskan diri dari ‘Ujub ( merasa bangga terhadap diri sendiri )?”



Beliau menjawab :


”Pandanglah segala sesuatu sebagai pemberian Allah swt, ingatlah bahwa Dia lah yang memberikan taufiq kepada kita sehingga dapat melakukan kebaikan, dan buanglah perasaan bahwa kita telah berbuat sesuatu. Kalau sudah demikian, niscaya kita akan selamat dari penyakit tersebut.”

Dan sewaktu ada yang bertanya kepadanya :


”Mengapa kami tidak pernah melihat lalat hinggap di bajumu?”


Beliau menjawab :

”Memangnya apa yang mau diambilnya dariku, sedangkan manisan Dunia dan madu Akhirat tidak ada padaku sedikitpun.”


Suatu kali, terdengar suara jeritan seseorang dari dalam kuburnya dan suara itu mengganggu orang-orang yang lewat disana. Lalu orang-orang melaporkan kejadian tersebut kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailany. Beliau berkata :

”Sungguh orang itu pernah melihatku sekali. Sekarang pastilah Allah merahmatinya lantaran pernah melihatku.”


Pernah suatu hari Syekh Abdul Qadir berwudhu, lalu air wudhunya itu jatuh membasahi seekor burung pipit. Burung itu diperhatikannya terbang, lalu jatuh dan mati. Melihat kejadian itu, beliau langsung mencuci bajunya lalu menjualnya, dan uang hasil penjualan itu beliau sedekahkan; seraya berkata :


“Burung itu mati lantaran air wudhukku.”

Syekh Izzudin bin Abdul Salam berkata :

”Tidak kami temukan transmisi ( naqal al-akhbar ) secara mutawatir mengenai karomah para wali seperti karomah Syekh Abdul Qadir Al-Jailany Ra”.


Demikian juga dikatakan oleh Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyah :


“Semua Ulama dan para wali di zamannya menghormati Syekh Abdul Qadir Al-Jailany. Dalam Ilmu Fiqih, beliau melebihi Ulama segenerasi dengannya, bahkan para tokoh wali juga sangat mematuhinya; beliau diakui oleh semua kalangan Ulama dan wali. Semuanya mengangkatnya sebagai pemuka mereka; maka jelaslah bahwa Syekh Abdul Qadir Al-Jailany adalah pemimpin para wali”.


Mufasir Ibnu Katsir berkata :


“Syekh Abdul Qadir sebagai Ulama yang tangguh dalam amar ma’ruf nahi munkar, menjalani kehidupan zuhud dan wara’, serta sufi yang sangat disegani.”


Syekh Abdul Qadir Al-jailany Ra juga memberikan fatwa dengan Mazhab Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal. Ulama-ulama di Iraq sangat kagum terhadap fatwa-fatwanya, sampai mereka berkata :


”Maha suci Zat yang telah memberi nikmat kepadanya.”

Ketika kapasitas keilmuan dan kewaliannya sudah populer, ratusan ahli fiqih dari berbagai kalangan di Baghdad berdatangan, setiap orang bertanya kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailany suatu permasalahan dari berbagai disiplin ilmu agar mereka bisa mendapat jawaban masalah tersebut dan mereka terus mendatangi majelis pengajiannya.


Suatu ketika semua jama’ah sudah duduk, mulailah Syekh berbicara. Terlihatlah dari dadanya kilat memancarkan cahaya yang tak kelihatan, kecuali oleh orang yang Allah kehendaki. Kilat tersebut melintasi ratusan hati jamaah yang kelihatan pucat pasi. Keadaan pun menjadi gaduh. Mereka berteriak serentak dan akan mengoyak pakaian dan membuka surban mereka masing-masing. Selanjutnya mereka mencoba naik keatas kursi singgasana Syekh Abdul Qadir Al-Jailany dan meletakkan kepala mereka di atas dua kaki Syekh, sehingga keadaan para jama’ah dalam majlis pengajian tersebut semakin gemuruh. Suasana menjadi riuh seakan-akan kota Baghdad tengah terjadi gempa saja.

Kemudian Syekh memeluk setiap orang dan merapatkan kedua tangan ke dadanya, dan berkata kepada salah seorang diantara mereka :


”Jika masalah anda seperti itu, maka jawabannya adalah begini…, dan jika masalah anda begini maka jawabannya begini…..”


dan seterusnya sampai ratusan masalah para jamaah tersebut tuntas dijawab oleh Syekh.


Ketika majlis pengajian berakhir, seorang diantara mereka, Muffaris bin Nabhab, bertanya kepada para jamaah :


”Bagaimana keadaan kalian waktu itu ?”

mereka menjawab :


”Ketika kami berada di tengah pengajian, kami merasa kehilangan pengetahuan kami, dan ketika Syekh memeluk kami satu persatu, seakan apa yang kami ketahui tersebut kembali hadir dalam pengetahuan kami”

Syekh Abdul Qadir Al-Jailany tidak ingin memperdaya umat dengan keajaiban dan keanehan yang mereka lihat, tetapi beliau menekankan bahwa ilmu hakikat harus sesuai dengan koridor Syari’at dan ilmu Makrifat. Dan setiap pelanggaran terhadap ilmu Syari’at merupakan lubang jalan setan dalam perilaku, walaupun ia dianggap seorang wali.


Syekh abdul Qadir Al-Jailany Ra menuturkan :

”Dalam sebagian pengembaraan, saya pergi ke suatu daerah dan berdiam disana beberapa hari tanpa menemukan air, sehingga saya merasa sangat kehausan. Dalam keadaan seperti itu, tampak mendung menyelimuti dan turunlah hujan, saya meredakan dahaga dengannya sehingga merasa segar kembali. Kemudian muncullah sosok terang di cakrawala dan berseru :

”Hai Abdul Qadir, Aku adalah Tuhanmu! Aku telah memperbolehkan kepadamu setiap yang diharamkan”

Kemudian saya berkata :

” Aku berlindung dari godaan setan yang terkutuk”


Seketika cahaya tersebut berubah gelap kembali dan sosok tersebut berubah menjadi asap. Lantas asap tersebut mengeluarkan suara :

”Hai Abdul Qadir! Kamu selamat dari godaanku, karena ilmu yang kamu miliki dengan hikmah-hikmah Tuhanmu, dan kekuatanmu dalam kemulian derajatmu, sebab pada saat ini, aku telah menyesatkan 70 ahli Thariqat”

Saya menyahut :

” Segala keutamaan dan curahan rejeki adalah milik Tuhanku”


Ada seorang yang bertanya kepada Syekh Abdul Qadir aL-Jailany Ra:


“ Bagaimana anda tahu kalau itu setan?”


Syekh menjawab :


”Betulkah Dia ( Tuhan ) telah menghalalkan yang haram untukmu?”



Dalam kesempatan lain, Syekh Abdul Qadir al-Jailany memberi wejangan agar memegang teguh Kitabullah dan sunnah Rasul dan konsisten mengikuti Nabi Muhammad SAW:

”Setiap Hakikat yang tidak terlihat dasar syari’atnya adalah Zindiq. Terbanglah kepada Al-Haqq dengan dua sayap kitabullah dan Sunnah Rasul. Masuklah kepadanya dan genggamlah oleh tanganmu tangan Rasul SAW; jadikanlah beliau sebagai menteri dan guru sekaligus, eratkan tangannya agar menghiasimu, menyisirmu dan membuatmu tampil”

Suatu saat Syekh Abdul Qadir ditanya tentang “cara memperoleh Semangat” ( untuk beribadah );


Beliau menjawab :


”Caranya adalah dengan menelanjangi ( membebaskan ) diri dari kecintaan terhadap dunia, mempertautkan jiwa hanya dengan akherat, menyatukan kehendak hati dengan kehendak Allah swt dan membersihkan batin dari ketergantungan kepada makhluk.”


Saat ditanya tentang “Menangis”;


Beliau berkata:

”menangislah kamu karena Allah swt, menangislah karena jauh darinya dan menangislah untuknya.”


Saat ditanya tentang “Dunia”;

Beliau berkata:

”Keluarkanlah ia dari hatimu kedalam tanganmu! Dengan begitu ia tidak mencelakakanmu.”

Dan ketika ditanya tentang “Syukur”,

beliau berkata:

”Hakikat Syukur adalah mengakui dengan penuh ketundukan terhadap nikmat si Pemberi nikmat, mempersaksikan karunianya dan memelihara kehormatannya dengan menyadari, sesungguhnya bahwa kita tidak akan sanggup untuk bersyukur dalam artian yang sebenarnya.”


Beliau berkata:
”Orang miskin yang sabar karena Allah swt menghadapi kemiskinannya adalah lebih baik daripada orang kaya yang bersyukur kepadanya. Orang Miskin yang bersyukur adalah lebih baik dari kedua orang di atas. Sedangkan Orang Miskin yang sabar dan bersyukur adalah lebih baik dari mereka semua. Tidak ada yang sabar menjalani Ujian, kecuali orang yang tahu akan hakikat ujian tersebut.”


Ketika ditanya tentang al-Baqa ( keabadian),

beliau menjawab :

”Tidaklah keabadian itu melainkan dengan perjumpaan dengan Allah swt, sedangkan perjumpaan dengan Allah swt itu adalah seperti kedipan mata, atau lebih cepat dari itu. Di antara ciri orang yang akan berjumpa dengan tuhannya adalah tidak terdapat sesuatu yang bersifat fana pada dirinya sama sekali. Sebab keabadian dan fana adalah dua sifat yang saling bertolak belakang.”


Beliau pernah berkata :

”Makhluk adalah tabir penghalang bagi dirimu, dan dirimu adalah tabir penghalang bagi tuhanmu. Selama kamu melihat makhluk, selama itu pula kamu tidak melihat dirimu, selama itu pula kamu tidak melihat tuhanmu.”

Di antara akhlak beliau yang sangat mulia dan agung adalah selalu berada disamping orang-orang kecil dan para hamba sahaya untuk mengayomi mereka. Beliau senantiasa bergaul dengan orang-orang miskin, sambil membersihkan pakaian mereka. Beliau sama sekali tidak pernah mendekati para pembesar atau para pembantu Negara. Juga sama sekali tidak pernah mendekati rumah seorang menteri atau raja.


Suatu saat Syekh Abdul Qadir Al-Jailany mengungkapkan ilham batinnya dalam pengajiannya, meski yang hadir jumlahnya mencapai 70 000 orang. Cerita ini sudah banyak yang meriwayatkan secara mutawatir. Syekh Abu Bakar Al’Imad berkata :

“Tatkala aku membaca mengenai permasalahan dasar-dasar agama, aku terjerembab dalam keraguan, sampai aku telat mengikuti pengajian Syekh Abdul Qadir.


Setelah aku berlalu, dia bicara :


“Akidah kita adalah akidah Salaf yang shaleh dan sahabat.”

Aku sepakat dengan tutur katanya; kataku dalam hati. Dia kemudian berbicara sembari menengok ke arahku dan beliau mengulangi sampai tiga kali, lalu beliau berkata :


”Hai Abu Bakar! Ayahmu telah datang” sedangkan ayahku sudah tiada, hingga aku berdiri bergegas. Jika Syekh memalingkan kepalanya dariku, maka ayahku datang.


Begitu juga Al-Syuhrawardy bercerita hal yang sama :


”Aku berniat menekuni dasar-dasar agama, aku berkata kepada diriku sendiri bahwa aku perlu minta nasihat kepada Syekh Abdul Qadir, lalu aku datangi beliau.


Lantas beliau berbicara kepadaku sebelum aku mengutarakan niatku :


”Hai Umar, apa persiapan menuju kematian? Hai Umar, apa saja persiapan menuju kematian?”


Kala Syekh Abdul Qadir Al-Jailany masih muda, yakni ketika menekuni ilmu, dan menapaki “Hal”( kondisi ruhani ), serta berpetualang ke padang pasir siang malam, selalu terlihat dengan wajah serius, sampai beliau mendengar para pengembara padang pasir berteriak dahsyat, hingga beliau mengira mereka mati. Setelah itu, beliau berkeinginan kuat untuk keluar dari Baghdad, lalu beliau mendengar suara dari jauh ;”kembali kepada manusia karena dirimu punya daya guna”


Cerita diatas menggambarkan betapa beliau dicintai banyak jama’ah nya; mereka kembali kepada agama melalui kefigurannya, dan banyak orang nasrani dan yahudi yang masuk islam melalui tangannya.


Ada cerita dari Abu Al-Tsana’ Al-Nahramulky :”Kami mendapat cerita bahwa lalat tidak mau menghinggapi Syekh Abdul Qadir. Lalu aku mendatangi beliau, beliau berkata :”Apa yang telah diperbuat lalat terhadapku? Tidak ada racun dunia dan pula madu akhirat.”



Perkataan Ulama tentang Beliau


Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A’lamin Nubala XX/442).


Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, ”Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu.”


Beliau adalah seorang yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, dan mengikuti jalan Salaf al Shalih. Belaiau dikenal pula banyak memiliki karamah. Tetapi, banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, tariqah (tarekat/jalan) yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Di antaranya dapat diketahui dari pendapat Imam Ibnu Rajab.



Tentang Karamahnya

Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri’ Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri' lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya).



"Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar", demikian kata Imam Ibnu Rajab. "Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah."


Di antara keramatnya menurut "Jami’u Karamatil Aulia" adalah sebagai berikut:


1. As-Siraj meriwayatkan bahawa pada suatu hari dalam tahun 521 H, Syeikh Abu Hassan bin Tamim bin Ahmad Al-Baghdadi, seorang pedagang, telah menemui Syeikh Hammad Ad-Dabbas, seraya mengatakan bahawa ia telah menyiapkan suatu kafilah untuk membawa barang dagangan ke Syam, seharga 700 dinar.


Syeikh Hammad menegaskan : "Jika mengadakan perjalanan dalam tahun ini, niscaya anda akan mati terbunuh dan barang- barang daganganmu habis dirampok orang."

Syeikh Abu Muzhaffar gusar mendengarnya, Ia pun segera menemui Syeikh Abdul Qadir Jailani, memberitahu halnya. Waktu itu Syeikh Abdul Qadir masih muda remaja.


Abdul Qadir berkata: "Berangkatlah, insya Allah anda dalam keadaan selamat dan pulang nanti akan memperoleh keuntungan."


Abu Muzahaffar pun berangkatlah dan ternyata dagangannya laris dan laku dengan nilai 1000 dinar. Beruntung tiga ratus dinar.


Pada suatu hari Abu Muzhaffar singgah di sebuah tempat pemerahan susu, untuk sesuatu urusan. Dia terlupa, wang yang 1000 dinar itu tertinggal di situ, terletak di atas sebuah rak.


Setelah pulang, ia pun tidur beristirahat dan bermimpi beberapa orang Arab dalam satu kafilah, mengeroyoknya dan menganiayanya dengan lembing. Ketika tersentak, masih terasa sakitnya dan bekas darah jelas kelihatan dilehernya. Waktu itu dia teringat kepada wang 1000 dinar yang tertinggal tadi, lalu dicarinya kembali,. Ternyata wang itu didapatinya dalam keadaan utuh, tiada kurang satu sen pun.

Sesudah peristiwa itu, ia pun pulang ke Baghdad. Dalam perjalanan hatinya berkata "lebih baik berjumpa dahulu dengan Syeikh Hammad, kerana dia lebih tua, sedang Abdul Qadir masih muda walaupun ucapannya benar." la pun lalu menuju ke pekan, untuk menemuinya. Setelah berjumpa, Syeikh Hammad menyuruhnya supaya lebih dulu menemui Abdul Qadir, karena dia adalah orang yang dikasihi Allah dan telah mendoakannya sebanyak 17 kali, sehingga berkat doanya, ia telah diselamatkan Allah dari pembunuhan.


Mendengar petunjuk itu, ia pun pergi menemui Abdul Qadir. Dan setelah bertemu, Abdul Qadir lebih dahulu berkata: "Menurut Syeikh Hammad 17 kali, tetapi sebenarnya aku mendoakanmu 17 kali dan 17 kali, sampai apa yang anda alami itu terjadi."



2. Imam Al-Yafi'i berkata : Diriwayatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir pada suatu hari, meminta barang titipan kepada seorang yang menyimpannya, karena pemiliknya tidak dapat datang mengambilnya. Orang yang menyimpan barang itu menolak, tidak mau menyerahkannya seraya berkata : "Jika sekiranya aku meminta kepadamu dalam perkara seperti ini, tentu anda pun tidak akan mau memberikannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya, karena anda bukan pemiliknya."


Tiada lama sesudah ucapan itu, tibalah sepucuk surat pemiliknya ketangannya, menyatakan supaya barang titipan itu diserahkan kepada Syeikh Abdul Qadir, untuk disalurkannya kepada fakir miskin.

Maka barang itu pun diserahkannya kepada Syeikh Abdul Qadir. Beliau mengecamnya sedangkan Allah telah merelakannya.


3. Imam Sya 'rani menyatakan bahwa di antara keramatnya, pada suatu hari is mengambil wudluk. Tiba-tiba seekor burung layang-layang mengencinginya dari atas. Ia pun menoleh ke atas dengan mengangkatkan kepalanya, maka seketika itu juga burung itu terjatuh dan mati. Pakaian yang kena najis itu pun di cucinya kemudian dijualnya dan harganya disedekahkannya.



4. Setelah namanya makin terkenal ke seluruh dunia, maka pada suatu hari berkumpullah 100 orang alim-ulama dan cerdik pandai di Baghdad, hendak menguji ilmu pengetahuannya. Masing-masing telah menyiapkan sejumlah pertanyaan yang akan diajukan kepadanya. Setelah masing-masing mengambil tempat duduk, Syeikh Abdul Qadir diam menundukkan kepalanya, tiada bercakap sepatah pun. Tiba-tiba memancar cahaya sekilas dari dadanya, menembus ke dada hadirin, sehinggn semua pertanyaan.yang akan diajukan tadi, terhapus hilang lenyap dari dada masing-masing. Suasana majlis itu menjadi kalang-kabut, karena mereka menjerit jerit, sambil mengoyak ngoyak baju dan membuangkan kopiah.


Sesudah itu, beliau pun duduk di atas sebuah kursi, siap untuk menjawab semua pertanyaan. Ternyata tiada satu. pun pertan yaan yang dapat diajukan. Dan setelah menyaksikan kenyataan itu, semua hadirin tunduk mengakui kebesaran dan ketinggian ilmu beliau.



5. Abu Al-Fatah Al-Harawi berkata : "Saya pernah menjadi pelayan Syeikh Abdul Qadir selama 40 tahun. Kulihat dia shalat subuh dengan wuduk isyak. Setiap batal, digantinya dengan wuduk baru, kemudian shalat dua rakaat. Selesai shalat isyak, beliau masuk ke ruangan khalwatnya, tiada seorang pun diperkenankan menemuinya. Dia baru keluar dari situ ketika terbit fajar."6. Kata Al-Harawi lagi : "Pada suatu malam, aku menginap dirumahnya. Pada awal malam; kulihat dia shalat sekejap kemudian berdzikir sampai sepertiga malam pertama, lalu mengucapkan:


"Tuhanlah yang meliputi yang empunya, yang menyaksikan, yang memperhitungkan, yang berbuat, yang amat menciptai, yang mencipta, yang melepaskan, yang menggambarka"



Sesudah mengucapkan kalimat itu, kulihat tubuhnya beransur-ansur kecil kemudian membesar, sesudah itu naik ke udara, sampai lenyap dari pemandanganku.


Pada bahagian kedua dari malam, beliau shalat dan membaca Qur'an sampai pada bahagian ketiga malam. Sujudnya lama sekali, kemudian duduk tafakkur, bertawajjuh menghadap Allah sampai menjelang terbit fajar. Sesudah itu mendoa dengan rendah hati dan tawaduk. Kulihat cahaya mengelilinginya, sampai hilang dari pemandangan.


Kudengar disisinya suara yang mengucapkan: "Salamun 'alaikum, salamun 'alaikum".Dia menjawab salam itu sampai ke luar untuk mengerjakan shalat subuh.


7. Di antara keramatnya, beliau pernah menyatakan bahwa pada suatu hari, ia bertemu dengan Nabi Khidir. Beliau tidak mengenalnya. Nabi Khidir membuat syarat, bahwa beliau tidak boleh menyalahi perintahnya.


Nabi Khidir berkata kepadaku : "Duduk di sini!" Aku pun duduklah di tempat yang ditunjuknya itu selama tiga tahun. Setahun sekali dia datang dan memerintahkan supaya aku tetap duduk di tempat itu sampai dia datang pula pada kali yang lain."


Selanjutnya Syeikh Abdul Qadir menyatakan : "Aku pernah tinggal dicelah-celah puing kota Madain, untuk beribadah dengan sungguh-sungguh. Aku memakan anggur yang diperah dan tidak minum. Kemudian setahun aku minum air tidak memakan anggur. Dan pada tahun berikutnya aku tidak makan dan tidak minum dan tidak tidur.



Pada suatu malam yang amat dingin, aku tertidur dan bermimpi bersetubuh. Aku pun mandi wajib. Kemudian tidur pula dan bermimpi lagi. Aku pun mandi pula. Kemudian tidur dan bermimpi lagi, dan mandi pula. Malam itu aku bermimpi bersetubuh sampai 40 kali dan mandi 40 kali.


Sesudah itu aku pun naik ke satu jenjang istana Kaisar, dengan harapan tidak akan tidur lagi. Aku pun fana, tenggelam dalam 1001 ilmu dan rahasia kebesaran Allah, sampai aku beristirahat dari dunia kamu ini ."


8. Ibnu Al-Akhdlar berkata : "Pada suatu hari musim dingin, kami mengunjungi Syeikh Abdul Qadir. Walaupun cuaca amat dingin, beliau hanya memakai sehelai baju dan kopiah. Keringat membahasi seluruh tubuhnya. Beberapa orang mengipas-ngipasnya. Keadaannya seperti berada di musim panas yang amat sangat."



9. Beliau pernah menceritakan halnya, dengan berkata : "Aku pernah mengembara selama 25 tahun ke berbagai negara Selama dalam perjalanan aku hanya memakan tumbuh-tumbuhan dan meminum air sungai. Dan dapat menahan diri tidak minum selama setahun. Allah mengurniaiku kata-kata "kun" (jadilah). Apabila kata "kun" itu ku ucapkan, maka apa yang aku ingini, tercapai. Ku dapati hidangan yang tersedia, maka aku pun memakannya dengan sepuas-puasnya. Dengan "kun" itu, gunung bisa ku belah menjadi kue, lalu ku makan. Pasir bisa menjadi gula, ku taruhkan pasir itu dalam gelas, dan ku tuangkan air laut ke dalamnya, lalu ku minum. Semuanya sudah ku tinggalkan, kerana malu kepada Allah."


10. AI-Manawi berkata : "Di antara keramatnya, ketika masih bayi, tidak mau menyusu kepada ibunya, pada siang Ramadhan. Orang banyak yang ingin mengetahui awal bulan, bertanya kepalanya. Dan seumur hidupnya, lalat tidak pernah menjatuhkan kotoran kepadanya."



11. Pada suatu hari, seorang wanita menyerahkan anaknya kepada beliau untuk dididik, dengan mengatakan : "Aku perhatikan, anakku ini sangat tertarik kepada tuan. Sekarang, dia ku serahkan kepada tuan."


Beliau pun menerimanya dengan segala senang hati, dan mendidiknya dengan sungguh-sungguh mengamalkan thariqat ini. Beberapa waktu kemudian, ibunya datang menjenguk. Dilihatnya badan anaknya kurus-kering, mukanya pucat, akibat kurang makan dan tidur. Ia hanya memakan sepotong roti dari tepung gandum.

la sangat kasihan dan sedih melihat keadaan anaknya, lalu segera menemui Syekh Abdul Qadir. Dilihatnya beliau sedang memakan daging ayam. Lantas ia pun berkata : "Wahai tuan, anda memakan ayam, sedangkan anakku memakan roti?"


Beliau pun meletakkan tangannya ke tulang-tulang ayam itu seraya berkata : "Bangkitlah dengan idzin Allah!" Maka ayam itu pun bangkit, hidup kembali sebagaimana semula.

Sesudah itu, beliau pun berkata : "Nah, apabila anakmu itu sudah bisa berbuat seperti ini, maka dia bolehlah memakan apa saja yang disukainya."


12. Pada suatu hari seekor burung elang terbang di atas majlis Syekh Abdul Qadir. Burung itu berkicau dengan kuatnya, sehingga mengganggu hadirin. Beliau pun berkata: "Wahai angin, ambil kepala burung itu." Maka burung itu pun terjatuh ke tanah, kepalanya terpisah dari tubuhnya, masing-masing tercampak ke satu sudut. Beliau pun turun dari atas kerusinya, mengambil bangkai burung tadi dan mengusap-ngusapnya, dengan mengucapkan "bismillahir rahmanir rahim". Seketika itu juga burung itu hidup kembali.


13. Keramatnya yang lain menurut suatu riwayat, pada suatu hari tiga orang pekerja naik kuda melintasi beliau. Mereka membawa sejumlah minuman keras untuk Raja.


Syeikh Abdul Qadir menyuruh mereka supaya berhenti, tetapi mereka tidak memperdulikannya. Lantas beliau memerintahkan kepada kuda yang membawa mereka, supaya berhenti. Kuda itu pun berhenti, dan Syeikh Abdul Qadir mengambil minum keras itu dan menahan mereka. Mereka merasa kecut dan cemas. Syeikh Abdul Qadir menyatakan, arak itu sudah menjadi cuka. Maka mereka pun membukanya, ternyata apa yang dikatakan beliau itu, benar dan tepat.



14. Pada suatu hari beberapa orang wanita yang menentangnya, datang mengunjungi Syeikh Abdul Qadir, dengan membawa dua buah peti yang berkunci rapat. Mereka berkata : "Cuba teka apa isi peti ini."

Beliau berkata : "Didalamnya ada seorang bayi sedang duduk."


Ketika peti dibuka, ternyata apa yang dikatakan beliau itu adalah benar. Kemudian wanita-wanita itu menunjuk ke peti yang sebuah lagi, menanyakan apa pula isinya.


Syeikh Abdul Qadir menjawab : "Isinya, seorang bayi yang sehat, tidak terkena penyakit sampar." Ketika di buka, ternyata benar didalamnya seorang bayi yang sehat segar-bugar. Beliau memegang ubun-ubunnya, seraya berkata: "Duduklah." Maka bayi mungil itu pun duduk. Melihat kenyataan ini, maka mereka pun tobat, minta ampun, tidak mau lagi melawannya. Tiga orang di antara hadirin ketika itu mati.



15. Seorang laki-laki dari Baghdad menemuinya seraya berkata "Anak perempuanku telah disambar jin." Syeikh Abdul Qadir menyuruhnya pergi ke suatu tempat, dan supaya melingkari tempat itu dengan tulisan "bismillah 'ala niati Abdul Qadir". Orang itu pun melakukan semua itu. Maka sejumlah jin berdatangan melintasi lingkaran sampai Raja mereka tiba. Raja jin itu tegak di pinggir garis lingkaran tadi, seraya bertanya "Apa keperluanmu?"


Laki-laki itu pun menerangkan tentang anak perempuannya disambar jin tadi. Ketika itu juga Raja jin, menghadapkan si penyambar tadi kehadapannya dengan memukul pundaknya.Orang itu pun berkata kepada Raja jin : "Aku belum pernah melihat kepatuhan orang kepada Syeikh Abdul Qadir, seperti kepatuhanmu ini."


Raja jin itu pun menjawab : "Benar, dia melihat keadaan kami dari rumahnya, walaupun kami tinggal di ujung bumi. Mereka berlarian daripadanya karena kehebatannya."



16. Keramatnya yang lain, pada suatu hari beberapa sahabatnya menghadap beliau. Seorang diantaranya tak bisa buang air kecil. Akibatnya dia gelisah menahannya, sehingga mempengaruhi sikap dan gerak-geriknya. Dia menoleh kepada Syeikh Abdul Qadir, seolah-olah minta tolong. Beliau pun turun dari atas tempat duduknya, berhenti di satu tingkatan. Tiba-tiba muncul di atas kepalanya sebuah kepala manusia, seperti kepalanya. Kemudian turun ke satu tingkat lagi, maka muncul pula sebuah kepala yang sama. Kemudian turun ke tingkat bawah, muncul pula dua pundak dan dada. Setiap turun muncul sesuatu, akhirnya nampaklah duduk di atas kursi itu seorang laki-laki yang menyerupainya. Dia bercakap-cakap seperti percakapan Syeikh Abdul Qadir.

Beliau pun bangkit lalu menutupi wajah laki-laki itu dengan lengan bajunya. Tiba-tiba saja orang itu sudah berada di suatu padang pasir, di situ terdapat sebuah sungai dan ditepinya tumbuh sepohon kayu. Dalam keadaan seperti itu, hilanglah penyakit yang dialaminya. Ia pun mengambil wuduk di sungai tadi kemudian shalat. Tatkala memberi salam, Syeikh Abdul Qadir membuangkan tutup kepalanya. Tiba-tiba saja dia sudah berada kembali di majlis itu, sedangkan beliau duduk di atas kursi seperti semula.


Kemudian didapatkan pula bahwa al Kamal Ja’far al Adfwi (nama lengkapnya Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi’i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).


Karya

Imam Ibnu Rajab juga berkata, ”Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah."

Karya beliau, antara lain :


1. al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,

2. Futuhul Ghaib.


Murid-muridnya mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Ia membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.



Beberapa Ajaran Beliau



Sam’ani berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau.” Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”






Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, ”Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi juga berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi“.


Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, ” Aku telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani ) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.” (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.)


Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang ‘alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a’lam bishshawwab.


Awal Kemasyhuran






Al-Jaba’i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata kepadanya, “Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut. Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu 'anhum]].



Kemudian, Syeikh Abdul Qadir melanjutkan, “Aku melihat Rasulallah SAW sebelum dzuhur, beliau berkata kepadaku, "anakku, mengapa engkau tidak berbicara?". Aku menjawab, "Ayahku, bagaimana aku yang non arab ini berbicara di depan orang-orang fasih dari Baghdad?". Ia berkata, "buka mulutmu". Lalu, beliau meniup 7 kali ke dalam mulutku kemudian berkata, ”bicaralah dan ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah dan peringatan yang baik”. Setelah itu, aku shalat dzuhur dan duduk serta mendapati jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga membuatku gemetar. Kemudian aku melihat Ali r.a. datang dan berkata, "buka mulutmu". Ia lalu meniup 6 kali ke dalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya mengapa beliau tidak meniup 7 kali seperti yang dilakukan Rasulallah SAW, beliau menjawab bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat beliau kepada Rasulallah SAW. Kemudian, aku berkata, "Pikiran, sang penyelam yang mencari mutiara ma’rifah dengan menyelami laut hati, mencampakkannya ke pantai dada , dilelang oleh lidah sang calo, kemudian dibeli dengan permata ketaatan dalam rumah yang diizinkan Allah untuk diangkat”. Ia kemudian menyitir, "Dan untuk wanita seperti Laila, seorang pria dapat membunuh dirinya dan menjadikan maut dan siksaan sebagai sesuatu yang manis."






Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, "kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang". Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka". "Sesungguhnya" kata suara tersebut, "Mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu". "Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku/keyakinanku" tanyaku. "Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu" jawab suara itu.



Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.




Beberapa Kejadian Penting


Suatu ketika, saat aku berceramah aku melihat sebuah cahaya terang benderang mendatangi aku. "Apa ini dan ada apa?" tanyaku. "Rasulallah SAW akan datang menemuimu untuk memberikan selamat" jawab sebuah suara. Sinar tersebut semakin membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi spiritual yang membuatku setengah sadar. Lalu, aku melihat Rasulallah SAW di depan mimbar, mengambang di udara dan memanggilku, "Wahai Abdul Qadir". Begitu gembiranya aku dengan kedatangan Rasalullah SAW, aku melangkah naik ke udara menghampirinya. Ia meniup ke dalam mulutku 7 kali. Kemudian Ali datang dan meniup ke dalam mulutku 3 kali. "Mengapa engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan Rasulallah SAW?" tanyaku kepadanya. "Sebagai rasa hormatku kepada Rasalullah SAW" jawab beliau.



Rasulallah SAW kemudian memakaikan jubah kehormatan kepadaku. "apa ini?" tanyaku. "Ini" jawab Rasulallah, "adalah jubah kewalianmu dan dikhususkan kepada orang-orang yang mendapat derajad Qutb dalam jenjang kewalian". Setelah itu, aku pun tercerahkan dan mulai berceramah.






Saat Nabi Khidir As. Datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan kepada para wali sebelumku, Allah membukakan rahasianya dan apa yang akan dikatakannya kepadaku. Aku berkata kepadanya, ”Wahai Khidir, apabila engkau berkata kepadaku, "Engkau tidak akan sabar kepadaku", aku akan berkata kepadamu, "Engkau tidak akan sabar kepadaku". "Wahai Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan Muhammad, inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini ar Rahman, ini kuda berpelana, busur terentang dan pedang terhunus.”



Al-Khattab pelayan Syeikh Abdul Qadir meriwayatkan bahwa suatu hari ketika beliau sedang berceramah tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara dan berkata, “Hai orang Israel, dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum Muhammad” lalu kembali ke tempatnya. Saat ditanya mengenai hal tersebut beliau menjawab, ”Tadi Abu Abbas Al-Khidir As lewat dan aku pun berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti”.


Hubungan Guru dan Murid

Guru dan teladan kita Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya.



1. Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).


2. Dua karakter dari Rasulullah SAW yaitu penyayang dan lembut.






3. Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.


4. Dua karakter dari Umar yaitu amar ma’ruf nahi munkar.


5. Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.


6. Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani.


Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepada beliau dikatakan:


Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.

Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.



Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syeikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.






Menurut saya (penulis buku) yang harus dimiliki seorang syeikh ketika mendidik seseorang adalah dia menerima si murid untuk Allah, bukan untuk dirinya atau alasan lainnya. Selalu menasihati muridnya, mengawasi muridnya dengan pandangan kasih. Lemah lembut kepada muridnya saat sang murid tidak mampu menyelesaikan riyadhah. Dia juga harus mendidik si murid bagaikan anak sendiri dan orang tua penuh dengan kasih dan kelemahlembutan dalam mendidik anaknya. Oleh karena itu, dia selalu memberikan yang paling mudah kepada si murid dan tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya. Dan setelah sang murid bersumpah untuk bertobat dan selalu taat kepada Allah baru sang syaikh memberikan yang lebih berat kepadanya. Sesungguhnya bai’at bersumber dari hadits Rasulullah SAW ketika beliau mengambil bai’at para sahabatnya.

Kemudian dia harus mentalqin si murid dengan zikir lengkap dengan silsilahnya. Sesungguhnya Ali ra. bertanya kepada Rasulallah SAW, "Wahai Rasulallah, jalan manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di sisi-Nya. Rasulallah berkata, "Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada Allah dalam khalwat (kontemplasinya)". Kemudian, Ali ra. kembali berkata, "Hanya demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir". Rasulullah berkata, "Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang mengucapkan 'Allah', 'Allah'. "Bagaimana aku berzikir?" tanya Ali. Rasulallah bersabda, "Dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula". Lalu, Rasulallah berkata, “Laa Ilaaha Illallah” sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara keras. Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama seperti yang Rasulullah lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa Ilaaha Illallah. Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut.



Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut”.


Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).


Lain-Lain

Kesimpulannya beliau adalah seorang ‘ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka itu adalah suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah shollallahu’alaihi wasalam, maka hal ini merupakan kekeliruan yang fatal. Karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasalam adalah rasul yang paling mulia di antara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan di sisi Allah oleh manusia manapun. Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir sebagai wasilah (perantara) dalam do’a mereka, berkeyakinan bahwa do’a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang meninggal sebagai perantara, maka tidak ada syari’atnya dan ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo’a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do’a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang mahluknya berdo’a kepada selain Allah. "Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. (QS. Al-Jin: 18)"


Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para ‘ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syari’ah. Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.


Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.


Syeikh Abdul Qadir juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.




Beberapa Gelar Syeikh Abdul Qadir


• Muhyiddin was Sunnah ( Tokoh yang menghidupkan agama dan sunah )

• Mumitul Bid’ah ( Tokoh yang menghapuskan bid’ah )

• Al-Imamuz zahid ( Pemimpin yang zuhud dalam kehidupannya )

• Al-Ariful Qudwah ( Gelar untuk seorang tokoh yang termasyhur dan menjadi suri teladan)

• Syaikhul Islam

• As-Sultanul Awlia ( Pemimpin para wali )

• Al-Asfiya ( Imam para sufi)

• Wali Quthb.



Murid-murid Syekh Abdul Qadir Al-Jilany


• Syekh Abu Ali bin Musallam bin Abi Al-Jud Al-Farisi Al-Iraqi

• Syekh Abu Abdullah Muhammad bin Abu Ma’ali bin Qayyid Al-Awwani

• Syekh Abu Qasim Abdul Malik bin Isa bin Dirbas

• Syekh Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdul Wahid bin Ali As-Surur

• Syekh Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah bin Miqdam bin Nassar Al-Maqdisi

• Syekh Abu Ma’ali Ahmad bin Abdul Ghani bin Muhammad bin Hanifah Al-Bajisrani

• Abul Mahasin Umar bin Ali bin Khidhr Al-Quraisyi



Wafatnya Syekh Abdul Qadir Al-Jailany


Periode pertama dalam hidupnya, diisi dengan menuntut ilmu sekaligus mengumpulkan dan menyusun karya dari ilmu tersebut. Sampai ketika menginjak usia 40 tahun, beliau membuka pengajian mengenai ilmu kalam dan konsultasi keagamaan pada sekolahnya di Babulizaj, Baghdad, yaitu sejak tahun 521-561 H.


Sekian lama beliau mengajar dan memberi fatwa di madrasahnya, yaitu selama 33 tahun, sejak 528 H- 561 H. beliau tidak menyisakan waktu kecuali untuk menginfaqkan ilmu dan semangatnya dari pengajaran sampai memberi teladan zuhud, ibadah dan makrifat. Usia Syekh Abdul Qadir Al-Jailany 91 tahun saat wafat pada tanggal 11 Rabiul Akhir tahun 561 H/ 1166 M, dan dikuburkan di perguruannya di Babulizaj, Baghdad.


Pengelolaan madrasah diteruskan oleh anak-anak beliau; Abdul Wahhab ( 552 H/ 1151 M – 593 H/ 1197 M) dan Abdul Salam ( 548 H/1151 M – 611 H/1213 M). Di masa Abdul Salam, Tareqat Qadariyah berkembang pesat.


Wasiat dan Nasihat Syekh Abdul Qadir Al-Jailany.



• Ikutilah Sunnah rasul dengan penuh keimanan, jangan mengerjakan bid’ah, patuhlah selalu kepada Allah swt dan Rasulnya, janganlah melanggar. Junjung tinggi tauhid, jangan menyukutukan Allah swt, selalu sucikan Allah swt, dan jangan berburuk sangka kepadanya. Pertahankanlah kebenarannya, jangan ragu sedikitpun. Bersabarlah selalu, jangan menunjukkan ketidak sabaran. Beristiqomahlah dengan berharap kepadanya; bekerja samalah dalam ketaatan, jangan berpecah belah. Saling mencintailah, dan jangan saling mendendam.


• Tabir penutup kalbumu tak akan tersibak selama engkau belum lepas dari alam ciptaan; tidak berpaling darinya dalam keadaan hidup selama hawa nafsumu belum pupus; selama engkau melepaskan diri dari kemaujudan dunia dan akhirat; selama jiwamu belum bersatu dengan kehendak Allah swt dan cahayanya. Jika jiwamu bersatu dengan kehendak Allah swt dan mencapai kedekatan denganNya lewat pertolonganNya. Makna hakiki bersatu dengan Allah swt ialah berlepas diri dari makhluq dan kedirian; serta sesuai dengan kehendaknya tanpa gerakmu; yang ada hanya kehendaknya. Inilah keadaan fana dirimu; dan dalam keadaan itulah engkau bersatu denganNya; bukan dengan bersatu dengan ciptaannya. Sesuai Firman Allah swt :”Tak ada sesuatupun yang serupa dengannnya. Dan dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat”



Komplek makam Syaikh 'Abd al-Qadir al-Jailany

Kompleks makam Syeikh 'Abd al-Qadir al-Jilany yang wafat pada tahun 561 H/I166 M terletak di pusat Kola Bagdad, tidak jauh dari jalan besar pusat perdagangan lama al-Rasyid. Dengan Letaknya di pusat kota itu tentu saja sangat mendukung jamaah yang ingin melakukan ziarah kubur.. Jumlah jamaah sanagt banyak kalau dibandingkan dengan jamaah yang ziarah ke makam syeikh Ahmad al-Rifai, makamnya memang terletak di daerah yang mayoritas penduduknya beraliran Syiah, di dekat kota Wasif.



Kampung tcmpat al-Jilani dimakamkan dinamakan Bab al-Chaykh yang berarti "pintu gerbang sang Syekh" sebagai penghormatan kepada wali ini. dan pcnduduk kampung itu, kaum Chayhiliyye, di mata masyarakat tampil sebagai "penduduk asli Bagdad". Orang Kurdi dari Irak Utara, menyebut sueilh Abdul Qadir Jilani sebagai Ghauts, Jailani (atau "penyelamat besar Jilani") kampung itu juga dihuni oleh wakil dari etnis Kurdi. Para Fuayliyah yang beretnis Kurdi itu merupakan golongan sosial yang miskin dan tidak lebih dari minoritas kecil di Bab al-Chaykh; selain itu mereka beraliran Syiah dan oleh karena itu tidak begitu menyanjung-nyanjung sang syekh.Kompleks makam terletak di lahan luas berbentuk segi empat yang dikelilingi oleh tembok berhiaskan lubang-lubang, yang tingginya sekitar lima meter. Ada beberapa pintu masuk, salah satu di antaranya adalah gerbang utama. Ruangan makam berada di kiri gerbang utama dan di atasnya terdapat sebuah kubah dari tembikar berglasir warna biru; ruangan itu berhubungan dengan sebuah zawiyah, tempat diadakan acara zikir oleh kelompok Qadiri dari berbagai daerah. Sebuah masjid yang megah berdiri di sebelahya. Masjid itu memiliki dua mihrab, karena ada dua imam, yang satu beraliran Hanafi, dan yang lain beraliran Syafii. Imam-imam ini adalah pemuka agama di Kota Bagdad, dan para pengunjung dari luar sering berdesakan mendekati mereka sehabis salat untuk bersilaturahmi; salah seorang dari kedua imam itu, Abd al-Karim al-Mudarris, adalah scorang ulama Kurdi yang pernah menjadi mufti besar Irak.


Di halaman makam terdapat sebuah menara jam dan sebuah kolam untuk berwudu; dua madrasah serta satu perpustakaan yang masih dikelola oleh pimpinan keluarga Jilani. Beberapa gedung bertingkat ditata sebagai asrama. Peziarah datang dari seluruh dunia Islam tapi orang-orang Turki- yang paling sering mengunjungi kompleks al-Jilani! dalam pcrjalanan haji ke Mekkah; ketika pulang mereka lalu mengunjungi kompleks makam Ibn 'Arabi di Damaskus. Selain itu. banyak pula peziarah yang datang dari India, dari Asia Tenggara, atau malah dari Magribi dan Afrika Hitam. Maka jumlah orang Irak konon tidak lebih dari seperempat jumlah keseluruhan pengunjung kompleks yang datang untuk salat Jumat. Dengan demikian berbagai bangsa berbagi penginapan: sejumlah penganut Qadiri ditanggung oleh wakil setempat selama sebagian besar hidupnya; ada pula yang tinggal di situ selama bcberapa bulan atau hanya beberapa hari.


Tcmpat yang paling ramai di seluruh kompleks tcntu saja makam 'Abd al-Qadir sendiri. Makam dan pagarnya berwarna perak; sedangkan pada tembok ruangan makam dan kubah terpasang banyak kaca kecil segi empat yang memantulkan cahaya tanpa henti. Kesan umum adalah kemegahan, tetapi juga kesejukan, yang mengingatkan kita pada suasana kompleks makam Syiah. Di Timur Tengah, tidak ada makam (maztir) sunni yang semegah kompleks ini.


Setelah memasuki kompleks. Jamaah ziarah mengucapkan ayat Kursi sebelum bcrpaling kc makam, dan mengucapkan salam (taslimah); mereka kemudian maju tujuh langkah menuju makam, sambil mengucapkan salam lagi pada sctiap langkah; dengan ritus ini para peziarah yakin bahwa permohonan mereka akan dikabulkan. Kini, para pegunjung mengelilingi makam satu kali, seperti biasanya pada ziarah di kcbanyakan makam Sunni lainnya.


Pengunjung yang datang berziarah ke makam Syeikh Abd al-Qadir al-Jilani berasal dari berbagai daerah. Penduduk setempat, dan terutama kaum perempuan, sering ke makam untuk menyampaikan permohonannya kepada wali. Hal itu mereka lakukan dengan cara berpegang pada terali pagar berwarna perak itu. Banyak pengunjung juga menyampaikan nazar dengan mengaitkan sepotong kain—kerap berwarna hijau—pada pagar tersebut. Kain itu sering diberikan oleh salah satu khadim penjaga makam. Dapat dicatat bahwa pada makam Abu Hanifa penjaga setempat membagi-bagikan potongan kain berwarna hijau yang disentuhkan pada makam. dan hal itu juga berlaku, pada makam-makam Syiah; maka praktik itu adalah khas Irak, atau paling sedikit tidak berlaku di Bilad al-Syam. Ada ritus lainnya yang berlaku baik untuk kalangan Sunni maupun kalangan Syiah Irak lainnya, yaitu kebiasaan orang memasang gembok (qifl) pada pagar, untuk memperkuat hubungan mercka dengan wali, atau untuk memperkuat nazar mereka. Memang, potongan kain dapat dtlcpaskan dengan mudah oleh para penjaga, namun lain halnya dengan gembok, yang harus dibuka dengan gunting besi... Para peziarah pun tidak kurang akal dalam hal ini: karena terali pagar memang amat tebal, dan tidak bisa digembok oleh semua jenis gembok. maka mereka memasang gemboknya yang kecil pada gembok yang lebih besar yang sudah tergantung pada pagar.


Semangat religius setempal juga nampak pada berbagai pemberian: wangi-wangian yang disebar-sebarkan, manisan yang dilemparkan dari atas makam dan jatuh di alas para pemohon (karena penutup makam miring). Apabila ada nazar yang terkabul, biasanya orang-orang membagikan manisan, atau kaum pcrcmpuan mcmekikkan sebuah lolongan khas ("ulululu") yang nyaring. Sesungguhnya, walilah yang menjamu dan bersikap royal; kctika scorang pcziarah dari jauh sedang mengeluh dalam hati karena belum mendapalkan perhatian Al Jilani,, konon mendadak akan jatuh sebuah manisan dari atas makam. dekat tempat dia duduk, dan manisan itu menggelinding sampai ke kakinya...


Para sufi, datang menghormati sang syekh pertama-tama atas dorongan adab, yaitu kcsopanan spiritual. Pada umumnya, permohonan yang diajukan oleh kaum sufi itu tidak mcnyangkut hal-hal yang berkaitan dengan dunia yang fana ini (kemandulan, penyakit, pernikahan atau perceraian, ujiandan sebagainya), melainkan yang berkaitan dengan "pencerahan" (al-fatt?), atau kalau tidak bisa, tuniunan dalam jalan tasawuf, atau bahkan penampakan wali dalam mimpi malam.


Para sufi memandang al-Jilani sebagai satu "kutub" universal, dan jangan dianggap bahwa dalam hal ini ada perbedaan sikap di antara tarekat-tarekat: scperti dikatakan kaum Bcktasyi, "Wali adalah milik semua orang". Maka banyak sufi yang bukan Qadiri juga berkunjung dari jauh untuk berbagi berkah sang wali serta berzikir di makam. Menurut kabar yang beredar di kalangan sufi, orang-orang tarekat tertentu dapat melihat Al Jilani berwujud fisik di samping makamnya, dengan badannya tertutupi kain hijau. Menurut bahasan tasawuf, para wali, kendati telah wafat, mempertahankan kekuatan spiritualnya (tasfynf atau tasfyarruf)t bahkan ada penulis yang mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan itu malah bertambah.

abdkadiralhamid@2013

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Abdul Qadir al-Jailany "

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip